Headline
Presiden Prabowo berupaya melindungi nasib pekerja.
Laporan itu merupakan indikasi lemahnya budaya ilmiah unggul pada kalangan dosen di perguruan tinggi Indonesia.
KETERBATASAN fisik yang dimiliki Agus Yusuf tidak membatasi dirinya untuk terus berkarya sebagai seorang pelukis. “Sejak lahir saya sudah cacat fisik. Orangtua saya hanya buruh tani. Tiga bulan pertama ibu saya selalu menangis melihat kondisi saya, tapi mereka tetap menerimanya,” ungkap pria asal Madiun, Jawa Timur, tersebut.
Meski kedua tangannya tidak lengkap, Agus dikenal sebagai orang memiliki kepribadian yang mudah bergaul dan mudah menyesuaikan diri sejak kecil. Hal ini pula yang diyakini membuatnya tidak mengalami perundungan. Bahkan ia dikenal sebagai anak yang memiliki banyak teman. “Waktu kecil alhamdulillah saya tidak mengalami (bullying) dan teman-teman banyak yang senang dengan saya, bahkan sering main bola bersama sampai cedera karena jatuh,” imbuh bapak dua anak itu mengenang masa kanak-kanaknya.
Tidak hanya periang, Agus kecil juga dikenal sebagai anak yang pandai menggambar. Agus mengaku mulai menyadari bakatnya sejak kelas 2 SD. Coretan yang dibuatnya bahkan bukan hanya mengantarnya menjuarai lomba di sekolah, melainkan juga hingga tingkat daerah. Orang-orang pun semakin kagum dengan karyanya karena hanya dikerjakan dengan menggunakan mulut dan kaki.
Tidak hanya berpuas diri, Agus terus memacu bakatnya dan mencari berbagai informasi untuk kesempatan mengembangkan diri. Maka ketika mendengar ada asosiasi artis berkebutuhan khusus, Association of Mouth and Foot Painting Artist (AMFPA) yang berpusat di Swiss, ia pun bertekad bergabung.
“Mulai 1989 sejak ada yayasan AMPFA yang berpusat di Swiss, saya mencoba untuk melamar ke sana dan dalam proses satu tahun bisa diterima,” imbuh Agus yang pada awal itu diterima sebagai student member.
Kesempatan itu membuatnya semakin bersemangat mendalami seni rupa. Keseriusannya berbuah manis, pada 2013 dirinya diangkat sebagai associate member AMFPA.
Dipamerkan di berbagai negara
Sebagai anggota AMFPA, Agus memiliki kewajiban untuk mengirimkan setidaknya 10 lukisan per tahun. Hal ini semakin memacunya sebagai pelukis yang produktif. Produktivitas Agus tidak menurun seiring usia. Hingga kini pelukis beraliran naturalis-realis tersebut mengaku sudah melukis kurang lebih 450. Kewajibannya mengirimkan lukisan ke AMFPA pun masih terus dijalankan.
Lukisan karyanya tidak sekadar dipajang, tetapi dipamerkan ke berbagai negara. Dari situ pula, ia secara tidak langsung bisa menyapa para penggemar seni internasional. Banyak pula yang kemudian mengoleksi karya tersebut. “Lukisan paling mahal yang laku terjual kurang lebih harganya Rp12 juta. Lukisan-lukisan saya sudah dipamerkan di Hong Kong, Taiwan, Bangkok, Singapura, Malaysia, Austria, dan Spanyol,” paparnya.
Kini Agus yang juga andal mengendarai mobil bertekad memiliki keberhasilan yang sama sebagai orangtua. Ia berupaya mengantarkan anak-anaknya sebagai sosok yang sukses dalam berkarya dan sebagai sebagai pribadi yang beragama. “Saya masih memiliki cita-cita agar anak-anak saya sukses dunia dan akhirat,” pungkasnya. (M-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved