Headline

Ketegangan antara bupati dan rakyat jangan berlarut-larut.

Bertahan di Bawah Libasan Takdir

Hera Khaerani
14/10/2017 06:13
Bertahan di Bawah Libasan Takdir
(Ilustrasi -- MI/Seno)

APA yang terjadi ketika seorang lelaki yang sejak usia belasan tahun sudah menjadi santri di pesantren, lantas menulis soal dunia prostitusi, panggung dangdut, dan pergaulan para pemabuk? Hal itulah yang dilakukan Kedung Darma Romansha, penulis kelahiran kampung Nunuk, Indramayu, lewat novelnya, Telembuk.

Menariknya, meski ditulis seorang lelaki dengan latar belakang keluarga religius, novel tersebut sama sekali tidak terkesan menghakimi. Lewat tokoh-tokohnya seperti Safitri dan Mak Dayem, Kedung mengajak pembaca untuk menyelami beberapa kemungkinan mengapa seseorang sampai mau jadi tlembuk, suatu istilah yang biasa dipakai di kawasan pantura untuk menyebut pekerja seks komersial (PSK).

Sebaliknya, Kedung bahkan berani menulis soal prostitusi dan warung remang-remang, bersisian dengan kehidupan pesantren dan pengajian. Lewat kisahnya, pembaca diajak merenungkan ulang bila tebersit pemikiran bahwa kita lebih suci daripada PSK, merasa begitu yakin bahwa kita paling berhak masuk surga, dan seolah pintu tobat tertutup bagi mereka. Betapa ustaz yang rajin menceramahi orang lain juga bisa memiliki kehidupan rahasia, menikmati jasa para PSK.

Safitri ialah anak semata wayang dari Saritem, seorang perempuan yang dulunya bekerja sebagai telembuk. Bapaknya, Sukirman, ialah seorang bajingan, pemabuk, dan doyan telembuk. Akan tetapi, bukan karena terlahir sebagai anak seorang telembuk yang mendorongnya mengikuti jejak tersebut. Gadis cantik itu harapan orangtuanya, didekatkan pada kebiasaan mengaji, bahkan menjadi artis kasidah milik Ustaz Musthafa.

Suatu hari, tiba-tiba Safitri muncul di tarling dangdut sambil bergoyang kesetanan. Hal itu dilakukannya berulang kali, sesekali ikut bernyanyi sambil bergoyang sambil menunggingkan pantatnya, sesuatu yang tidak mungkin dilakukannya bila sedang tampil sebagai artis kasidah. Banyak desas-desus beredar, menduga gadis itu stres karena hubungan cintanya dengan Mukimin, anak Haji Nasir, dilarang ayah sang lelaki.

Menariknya, perilaku Safitri di atas panggung yang kerap tak senonoh itu justru mengundang pinangan banyak ustaz dari berbagai kampung. Mereka konon melamarnya dengan satu niat dan tekad berjihad di jalan Allah guna mengembalikan Safitri ke jalan yang lurus. Namun, semua lamaran itu ditolak gadis tersebut.

Suatu malam di atas panggung dangdut, ada seorang haji yang naik ke atas panggung, menyawer dan meraba tubuh Safitri. Dia merasa janggal dengan perut perempuan itu yang diduganya telah hamil. Di depan umum, Safitri lantas mengakui dirinya hamil, mengundang pertanyaan soal siapakah lelaki yang telah membuatnya mengandung itu. Banyak yang menduga dia dihamili Mukimin, anak pemuka agama yang dikenal kaya. Namun, ada juga kabar yang menyatakan dirinya telah diperkosa. Kebenaran soal ini menjadi salah satu misteri yang dikisahkan dalam buku tersebut dengan berliku-liku tetapi tak membuat jemu.

Humor

Kesan menghakimi tidak muncul dalam buku ini, boleh jadi karena penceritaan penulisnya yang jenaka. Selera humor Kedung sudah tampak bahkan di halaman 3 ketika dia mengawali kisahnya.

"Cahaya merah kesumba rebah di dahan-dahan pohon dan jalanan, membentuk bayangan yang condong ke timur. Selembar daun mangga terlepas dari tangkainya, melayang, menabrak ranting dan rimbun dedaunan, lalu terhempas ke tanah--persis di depan seseorang yang tengah duduk di bangku halaman rumahnya, Diva. Sudah satu jam lebih perempuan ini duduk tepekur. Lalu terjaga ketika cahaya di barat mulai susut dan gelap hinggap di genting-genting rumah dan pepohonan. Angin sore mengusap rambutnya yang tergerai. Tatapan matanya mengabur. Seperti ada sesuatu yang terlepas dari dirinya. Cukup! Sampai di sini saja dulu. Capek rasanya dengan pembukaan cerita semacam ini. Menjenuhkan."

Lihatlah bagaimana bahkan di halaman pertama tulisannya, Kedung sudah menunjukkan gayanya yang eksentrik. Sembari bercanda, dia bisa mengkritik gaya kebanyakan penulis lain.

Selain mengundang tawa, cara itu sekaligus membuat pembaca jadi menerka-nerka apakah memang Kedung memiliki gaya lain yang lebih menarik dan bisa memuaskan mereka. Gaya pembuka ini jelas hanya bisa dibuat seorang penulis yang memiliki selera humor dan tidak takut untuk menunjukkannya lewat karya.

Di dalam novel ini, Kedung juga menulis dengan cukup eksperimental. Ada bagian-bagian yang dibuat dalam bentuk dialog, di saat ada seorang pemuda bernama Aan, dikisahkan sebagai penulis buku fiksi tersebut. Di tengah cerita, tokoh-tokoh rekaannya bermunculan, baik itu Safitri, Mukimin, maupun yang lainnya. Mereka melayangkan protes, tidak setuju dengan berbagai jalan cerita yang dipilih Aan atau sekadar mengeluhkan porsi kemunculan mereka dalam cerita di buku itu.

Gaya dialog di saat tokoh rekaan menggugat penulisnya ini mengingatkan saya pada buku Trilogi Soekram karya Sapardi Djoko Damono. Namun, oleh Kedung, dialog berisi gugatan itu dihadirkan untuk meningkatkan keawasan pembaca atas misteri yang sedang dipecahkan secara bertahap dalam buku itu.

Dia juga membawa eksperimennya sedikit lebih jauh. Tidak hanya menghadirkan sosok penulis yang digugat karakter-karakter dalam tulisannya karena jalan cerita ataupun frekuensi kemunculan mereka dalam cerita, tetapi juga ada bagian ketika Kedung Darma sendiri muncul ke dalam dialog, berbicara dengan karakter Aan yang diceritakan menjadi penulis kisah tersebut (hlm 375). Jadi jika semula pembaca mungkin mengira karakter Aan adalah representasi Kedung Darma, nyatanya toh dia kemudian dimunculkan ke dalam buku itu dengan namanya sendiri, Kedung. Benar-benar penulis fiksi yang jahil.

Telembuk sendiri merupakan lanjutan dari bukunya sebelumnya Kelir Slindet yang diterbitkan Gramedia Pustaka Utama (2014). Jika belum pernah membaca Kelir Slindet, pembaca tidak perlu khawatir karena Kedung menyediakan prolog untuk memahami latar belakangnya. Dengan cara penceritaannya, sungguh mudah untuk membuat pembaca hanyut dalam cerita, enggan berhenti membalik setiap lembar halamannya. Maka tidaklah mengherankan jika Telembuk kemudian masuk lima besar Kusala Sastra Khatulistiwa kategori prosa, yang malam penganugerahannya akan diadakan pada akhir Oktober nanti.

Buku ini kuat mengangkat lokalitas, ditulis seseorang yang tampak sangat mengetahui seluk-beluk persoalannya karena memang berasal dari Indramayu, kawasan yang tidak hanya dikenal sebagai penghasil mangga tetapi juga PSK. Membaca buku ini, mengajak kita untuk menyingkirkan stigma negatif yang kadung melekat pada golongan tertentu, juga sejenak menanggalkan kacamata yang memandang segalanya dengan vulgar. Kita diajak melihat realitas tanpa tendensi, untuk kemudian bisa menyelami kehidupan orang-orang yang bertahan sekalipun mereka telah kalah oleh takdir. Membaca buku ini, saya sendiri pun bertanya, "Akankah saya mampu bertahan jika takdir sedari awal menempatkan saya sebagai orang yang kalah?" (M-2)

Judul : Telembuk

Penulis : Kedung Darma Romansha

Penerbit: Indie Book Corner

Terbit : Mei 2017

Tebal : 414 halaman



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya