Headline
Senjata ketiga pemerataan kesejahteraan diluncurkan.
Tarif impor 19% membuat harga barang Indonesia jadi lebih mahal di AS.
GUNA mengisi kegiatan selama Ramadan, banyak pihak sekolah dan pelajar menggelar kegiatan pesantren kilat dan kegiatan ibadah lainnya. Hal itu dinilai positif karena dapat menjadi bagian dari pendidikan karakter yang melatih menahan diri dan kesabaran. Namun, untuk kontennya, para penceramah atau ustaz diimbau dapat menyejukkan suasana ibadah suci Ramadan.
"Sekolah-sekolah yang melaksanakan pesantren kilat, pondok Ramadan, dan kegiatan lain merupakan kegiatan yang baik dan positif. Memang itu diperlukan untuk mengasah mental dan rohani, tetapi harus diisi penceramah atau ustaz yang menyejukkan, bukan menyesatkan," kata Mendikbud Muhadjir Effendy menjawab Media Indonesia, seusai memberikan tausiah Ramadan di Masjid Kemendikbud, Jakarta, kemarin (Senin, 29/5).
Muhadjir menegaskan kegiatan pesantren Ramadan sebagai bagian dari pendidikan karakter yang melatih siswa untuk menahan diri dan membentuk jiwa yang bersabar.
Mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Malang itu melanjutkan makna puasa Ramadan ialah membakar, tetapi jangan menerapkannya secara keliru dengan kegiatan yang negatif.
"Jika melakukan kegiatan yang negatif pada Ramadan ini, hati-hati bukan dosa kita yang terbakar malah pahala kita yang terbakar," tegasnya.
Keringanan
Pada paparan tausiahnya yang digelar seusai salat zuhur bersama jajaran pegawai Kemendikbud, Muhadjir menjelaskan, berdasarkan perintah Allah SWT dalam menjalankan kewajiban puasa Ramadan, dia mengutip Alquran Surah Albaqarah ayat 183, "Wahai orang-orang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa."
Makna ayat tersebut di antaranya menjelaskan kewajiban berpuasa telah Allah perintahkan pada masa sebelum umat Rasulullah SAW, yakni pada umat nabi-nabi sebelumnya.
Lebih lanjut, ia menjelaskan pada masa awal puasa yang dibebankan kepada umat Nabi Muhammad SAW yang jatuh pada abad kedua tahun Hijriah dirasakan sangat berat oleh para sahabat.
Saat itu, kewajiban berpuasa selama sebulan hanya dibolehkan membatalkannya saat magrib dan selepas itu tidak boleh lagi makan dan minum serta berhubungan suami istri. Maka para sahabat nabi dipelopori Umar bin Khattab meminta keringanan kepada Nabi Muhammad SAW.
"Maka turunlah kemudian ayat Alquran yang memberikan keringanan umat Islam untuk berpuasa dari terbit fajar hingga terbenam matahari atau waktu magrib dan selepas waktu itu boleh makan dan minum serta berhubungan suami istri," papar Muhadjir.
Akan tetapi, lanjut dia, Muhadjir mengatakan demikian, "Jangan pula kita yang berpuasa menganggap bebas seusai membatalkan puasa waktu magrib dengan berbuat apa saja. Anak-anak muda jangan ke diskotek dan sejenisnya yang dapat mengurangi makna dan nilai puasa di bulan suci Ramadan ini. Sebaiknya mari kita isi dengan ibadah salat Tarawih, mengaji, tadarus Alquran, bersedekah, dan berbuat baik lainnya sehingga puasa kita lebih bermakna dan bermanfaat."
Dalam kesempatan itu, ia menyampaikan apresiasi kepada pengurus jajaran Masjid Kemendikbud yang telah rutin membuat tradisi positif selama bulan Ramadan dengan mengadakan kegiatan takjil berbuka puasa dan memberi makan bagi kaum duafa dan mereka yang berbuka di Masjid Kemendikbud."Saya kira ini tradisi Ramadan yang amat baik yang perlu dilestarikan," pungkasnya.(Bay/H-5)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved