Headline

Mantan finalis Idola Cilik dan kreator konten juga memilih menikah di KUA.

Fokus

Ketegangan antara Thailand dan Kamboja meningkat drastis sejak insiden perbatasan

Sosialisasi Antimalaria Lamban

Puput Mutiara
05/5/2017 06:40
Sosialisasi Antimalaria Lamban
(Ilustrasi)

PENANGANAN penyakit malaria di daerah perbatasan kerap tidak tepat karena informasi terkait dengan perubahan penanganan malaria secara teknis ataupun pengobatan lambat diterima tenaga kesehatan.

Padahal, pemerintah telah mengeluarkan pedoman penanganan penyakit malaria melalui Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 293/2013 tentang Standar Pengobatan Malaria.

Hal itu antara lain terjadi di Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur (NTT). Tidak mengherankan bila angka kejadian malaria di NTT jauh di atas batas standar dan menjadi salah satu daerah endemis atau provinsi urutan keempat tertinggi setelah Papua, Papua Barat, dan Maluku.

Kepala Bidang Sumber Daya Kesehatan pada Dinas Kesehatan Kabupaten Belu Sipri Mali mengatakan, akibat keterlambatan informasi yang diterima tenaga kesehatan, banyak pasien malaria di wilayahnya tidak tertangani secara tepat.

Ia mencontohkan tentang obat malaria yang semula bernama DHP atau Didydroartemisinin 400 mg/piperaquine phosphate 320 mg kemudian berganti menjadi D-Artepp. Perubahan itu lambat diketahui tenaga kesehatan di wilayah Belu.

“Tenaga kesehatan enggak tahu (perubahan obat), jadi mau kasih obat bingung,” ujar Sipri, Kamis (4/5).

Ia juga mengungkapkan kebijakan yang dibuat pemerintah pusat biasanya tidak langsung sampai ke daerah. Karena itu, jika terjadi perubahan menyangkut masalah penanganan malaria, para tenaga kesehatan tidak dapat segera mengikuti prosedur sesuai dengan pedoman yang baru ditetapkan.

Dampak itu antara lain mengakibatkan prevalensi malaria di NTT mencapai 10,6 : 1.000 penduduk. Padahal, batas standarnya 1 : 1.000. “Di NTT belum ada satu pun daerah dengan kejadian malaria di bawah standar. Namun, kami optimistis, melalui upaya percepatan, pada 2030 kami bisa mengeliminasi malaria,” tegasnya.

Menurutnya, upaya yang sudah dilakukan untuk mempercepat eliminasi penyakit yang ditularkan melalui gigitan nyamuk tersebut antara lain dengan menemukan pasien sedini mungkin. Ia menargetkan setiap tahun ada 100 pasien yang terdeteksi lebih cepat sehingga penanganannya dapat dituntaskan sebelum menular. Selain itu, upaya mengeleminasi malaria diprioritaskan melalui pengobatan dan pemberian kelambu.


Faktor lingkungan

Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Belu Theresia M B Saik menjelaskan tingginya angka kejadian malaria di NTT disebabkan faktor lingkungan. Kondisi lingkungan di wilayah tersebut masih banyak mendukung perkembangbiakan nyamuk Anopheles sebagai penular malaria.

“Dari tahun ke tahun, angkanya (kasus malaria) tidak mengecil meski sudah dilakukan berbagai upaya. Kita tahu, setiap habis musim hujan, banyak genangan air yang akhirnya jadi tempat perkembangbiakan nyamuk,” paparnya.

Terkait dengan itu, Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Oscar Primadi mengatakan kerja keras lintas sektoral akan sangat menentukan keberhasilan pembangunan kesehatan di seluruh Tanah Air. (H-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Msyaifullah
Berita Lainnya