Headline
AS ikut campur, Iran menyatakan siap tutup Selat Hormuz.
Tren kebakaran di Jakarta menunjukkan dinamika yang cukup signifikan.
UPAYA pelestarian situs budaya belum bisa maksimal karena Undang-Undang (UU) Nomor 11/2010 tentang Cagar Budaya yang disahkan tujuh tahun lalu hingga saat ini belum dilengkapi dengan peraturan pemerintah (PP).
Padahal, tanpa adanya PP, UU tersebut tidak bisa diimplementasikan. Anggota Dewan Kehormatan Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia, Wiwin Djuwita S Ramelan, mengatakan tidak adanya PP atas UU itu membuat upaya mengatasi kerusakan kawasan situs cagar budaya menjadi terhambat.
Tim pelaksana tidak mempunyai payung hukum yang lebih rinci, sedangkan UU hanya mengatur garis besarnya. "Ini bahan evaluasi bagi kita semua," kata Wiwin dalam diskusi ilmiah Arkeologi 2017 yang diselenggarakan Ikatan Ahli Arkeologi di Museum Nasional Jakarta, kemarin (Rabu, 12/4).
Selain belum adanya aturan teknis pelaksanaan UU tentang Cagar Budaya, proses pengelolaan dan pelestariannya masih menghadapi masalah.
"Kendati ada pengalihan tanggung jawab dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah melalui desentralisasi, mereka kerap kali saling menyalahkan," tuturnya.
Sementara itu, arkeolog senior sekaligus Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (UI) Mundardjito mengungkapkan pelestarian cagar budaya juga masih terkendala anggaran karena pada UU tentang Cagar Budaya, alokasi dana untuk perlindungan cagar budaya tidak diatur.
Padahal, ancaman kerusakan cagar budaya yang disebabkan bencana alam dan kerusakan akibat kesengajaan bisa terjadi.
UU Cagar Budaya ditetapkan pemerintah pada 2010 dalam upaya pelestarian cagar budaya. UU tersebut menggantikan UU No 5/1992 tentang Benda Cagar Budaya yang dianggap sudah tidak relevan lagi.
Dalam UU tersebut yang dianggap sebagai cagar budaya hanya benda dan belum melingkupi aspek kawasan dan lingkungan dari benda cagar budaya.
Pada UU No 11/2010, aturannya diperbarui. Kawasan situs masuk di kawasan cagar budaya yang seharusnya dilindungi. Penerbitan UU tersebut diharapkan dapat menjadi aturan yang komprehensif.
Menurut Mundardjito, dengan berkembangnya ilmu arkeologi serta pembaruan teori, paradigma mengenai warisan budaya menjadi berubah. Pengelolaan cagar budaya, ujarnya, juga bukan hanya soal arkeologi, melainkan semua pemangku kepentingan, termasuk masyarakat.
"Warisan budaya ialah sumber daya yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan penelitian akademik maupun untuk meningkatkan keseimbangan masyarakat. Akan tetapi harus diingat bahwa sumber daya tersebut terbatas, khas, tidak terbarui, dan kontekstual. Karena itu, diperlukan manajemen pengelolaan," katanya.
Sosialisasi luas
Arkeolog dari UI lainnya, Edi Sedyawati, berpendapat diperlukan sosialisasi lebih luas lagi kepada masyarakat mengenai ilmu arkeologi terkait dengan perbaruan teori dan cabang ilmu baru dalam arkeologi yang lebih spesifik. Dengan begitu, diharapkan pemikiran baru dan pemanfaatannya dapat dikembangkan.
Hal senada dikatakan pengajar dari Departemen Arkeologi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI Supratikno Rahardjo. Menurutnya, sosialisasi kajian arkeologi cenderung hanya dilakukan di kalangan internal sehingga publikasi untuk umum kurang.
"Padahal, itu dapat memberikan informasi kepada masyarakat yang terkait dengan pengembangan dan pelestarian situs cagar budaya," katanya.(H-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved