Headline

Berdenyut lagi sejak M Bloc Space dibuka pada 2019, kini kawasan Blok M makin banyak miliki destinasi favorit anak muda.

Fokus

PSG masih ingin menambah jumlah pemain muda.

Bayar dengan Keringat dan Kerja Keras

Retno Hemawati
21/8/2016 00:00
Bayar dengan Keringat dan Kerja Keras
(MI/SUMARYANTO)

PENARI asal Surakarta, Siko Setyanto, 33, meraih Hibah Seni 2016 dari Yayasan Kelola untuk koreografi tari berjudul Nol. Karya itu akan dipentaskan pada 27-28 Agustus mendatang di Farida Oetoyo Performance Hall, Sekolah Ballet Sumber Cipta, di Jalan Pondok Pinang Raya No 1, Jakarta Selatan.

“Saya akan bercerita tentang perjalanan manusia dari lahir hingga mati. Karya ini juga menawarkan sebuah cara pandang sederhana akan hubungan manusia dengan Tuhan secara pribadi, misterius, sekaligus natural,” kata dia membuka perbincangan khusus dengan Media Indonesia, Rabu (17/8).

Siko kemudian melanjutkan cerita awal mula dirinya jatuh cinta pada dunia tari hingga menjadi seorang koreografer yang telah memiliki sembilan karya. Dia mengaku dirinya memang bertumbuh di sanggar, bukan sekolah tari formal. Kecintaannya dimulai saat dirinya dibimbing maestro tari Wied Sendjayani, pendiri sekaligus pemimpin Sanggar Maniratari di Surakarta.

Dia yang berasal dari keluarga sederhana dididik Wied tanpa bayaran. “Ibu Wied mensyaratkan secara lisan, jika saya serius ingin menjadi penari, harus dibayar dengan keringat dan kerja keras,” kata dia. Sepekan kemudian dia hampir tidak pernah absen untuk hadir dua kali dalam seminggu demi berlatih. “Saya latihan balet klasik dan modern jazz, itu dasar tari saya,” kata lulusan SMK Sahid Surakarta itu.

Wied memberikan pengaruh besar pada diri Siko dari isi pengetahuan dan kedisplinan. “Beliau menekankan harus disiplin. Masa remaja saya tidak pernah merasakan malam mingguan, apalagi kalau sudah mendekati pentas, latihan setiap hari. Tidak apa-apa, itulah yang membentuk karakter saya sekarang. Saya terbiasa bekerja serius,” jelasnya.

Mencintai orisinalitas
Siko dipengaruhi banyak penari asal Surakarta, salah satunya Sardono W Kusumo. “Darinya saya belajar dan kemudian mencintai orisinalitas. Pekerja seni sangat tabu menyontek,” kata dia.

Orisinalitas itu yang selalu dibawanya saat pentas di luar negeri. Ia telah berulang kali bekerja sama dengan koreografer andal mancanegara seperti Glenn Van den Bosch (Belanda), Sussane Thomas (Jerman), Japan Contemporary Dance Network (Jepang), Gerard Mosterd (Belanda), Tomas Lehmann (Jerman), Constanza Macras/Dorky Park (Argentina/Jerman), dan Iko Sidharta (Indonesia). “Saya belum pernah menari Jawa, tetapi kejawaan saya muncul melalui sikap dan ornamentasi itu ada di badan saya,” kata Siko yang tidak ingin mengidentikkan penari lelaki dengan banci.

Tahun ini, selain mementaskan Nol, dia akan berangkat ke Korea untuk Asia Dance Project. “Setiap tahun saya menari bersama mereka, workshop satu bulan, dan pentas bersama. Mereka membutuhkan ‘badan Asia’,” tuturnya. Dia kemudian bercerita mendaftar untuk kesempatan yang digagas Kementerian Pemuda, Olahraga, dan Kesenian Korea itu melalui Malaysia.

Siko mendapatkan banyak kesempatan baik karena rajin memelihara jejaring yang bagus dan mencari informasi di media sosial. “Jadi media sosial itu, jika dimanfaatkan secara baik, hasilnya akan luar biasa,” tutup dia. (H-5)

[email protected]



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Vicky
Berita Lainnya