Headline

AS ikut campur, Iran menyatakan siap tutup Selat Hormuz.

Fokus

Tren kebakaran di Jakarta menunjukkan dinamika yang cukup signifikan.

Jogjarockarta 2018 Libatkan Perupa untuk Lokalitas

Retno Hemawati
04/11/2018 06:00
Jogjarockarta 2018 Libatkan Perupa untuk Lokalitas
(DOK FELIX ERMAN YUDHI)

PERGELARAN Jogjarockarta pada Sabtu (27/10) malam meninggalkan banyak kesan positif. Selain kehadiran grup thrash metal dari Amerika Serikat, Megadeth, yang tampil memukau, juga terdapat pemandangan indah karya seniman Indonesia, Ong Hari Wahyu. Prestasinya segudang, termasuk meraih predikat the best art director dalam Festival Film Indonesia untuk film Daun di atas Bantal yang dibintangi Christine Hakim dan disutradarai Garin Nugroho.

Karyanya yang dipertontonkan pada 15 ribu penonton yang hadir dalam pergelaran Jogjarockarta terdiri dari empat lukisan. Judulnya selaras dengan tema besar konser itu, No Place for Hate, tidak ada tempat untuk kebencian.

"Konsep dasarnya justru terinspirasi dari buku pertama dari Tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer judulnya Bumi Manusia. Bumi Manusia itu menjawab persoalan hak atas kemanusiaan dan keadilan. Artinya, tidak ada tempat bagi kebencian," kata lelaki kelahiran Madiun itu saat dihubungi Media Indonesia, Rabu (31/10) malam.

Keempat karyanya memperlihatkan empat manusia bertopeng dengan alat musik dan juga senjata, kepala mereka berapi-api, juga lukisan macan. Bagi Ong, topeng itu untuk orang yang selalu sembunyikan wajahnya, tidak terus terang, sedangkan api menunjukkan kemarahan. Adapun macan diibaratkan membangunkan macan tidur yang artinya kesabaran itu ada batasnya.

"Ini sangat relevan karena mengemukakan persoalan kejujuran, juga keterusterangan, tidak membuat fitnah dan hoaks. Sekarang banyak orang yang tidak tulus dan kejadian akhir-akhir ini banyak beredar hoaks," jelasnya.

Ong bercerita sangat menyukai musik, terlebih musik rock. Banyak album musik yang dikoleksinya, yakni rock klasik 1960, 1970-an. "Biasanya musik-musik itu menginspirasi ekspresi visual. Bisa dilihat visualisasi kover-kover cakram padat atau vinil dari album musik. Itu digarap atas dasar interpretasi syair lagu atau judul album lagu," kata dia.

Baginya, menerjemahkan produk seni audio ke dalam seni visual sangat mengasyikkan. "Ya itu sangat asyik. Membayangkan narasi syair atau irama kemudian terbayang visualnya. Bisa menangkap atmosfernya hingga mewujud bentuk-bentuk visual itu seperti kepala yang ada apinya, topeng yang terbakar, itu saya ibaratkan menyanyikan narasi lewat seni visual," kata perupa yang juga dikenal dengan slogannya Seni Agawe Santosa itu.

Menurut etnomusikolog Joko S Gombloh dari Universitas Sebelas Maret Surakarta, hal itu bisa disebut fluxus, performance art, happening art, concept art dan,  pernah juga dikenal dengan sebutan senirupa pertunjukan. Di Indonesia, terangnya, para pelaku fluxus sudah banyak. Dia menyebutkan, di antaranya Hery Dono, Wayan Sadra, Nyoman Erawan, Arahmayani, Sutanto Mendut, Ben Pasaribu, dan Yoseph Praba.

"Bagi seniman atau perupa seperti mereka, apa yang mereka kerjakan sudah selalu futurable. Sekarang terus muncul karya karya futuristik yang sudah borderless, melampaui sekat sekat seni yang ada. Jadi, bukan hanya pemusik dan perupa aja, tetapi juga melibatkan banyak pelaku kesenian yang beragam, itulah mengapa karya seperti ini acap disebut mixed media," kata Gombloh.

Saksi peristiwa kebudayaan
Keterlibatan Ong Hari Wahyu dalam perhelatan ini, bagi Rajawali Indonesia Communications selaku penyelenggara tentu saja melalui pertimbangan istimewa. Selain karena faktor kedekatan, juga prestasi. "Bagi kami, Ong Hari Wahyu merupakan perupa, khususnya seni grafis, yang paling terkemuka di Indonesia saat ini. Namanya sudah bisa disejajarkan dengan almarhum Syahrinur Prinka yang dikenal sebagai jawara seni grafis," kata Bakkar Wibowo, Co-Founder & Project Director Jogjarockarta Rock Festival saat dihubungi Rabu (31/10) malam.

Bakkar secara detail menjelaskan karya Ong menjadi satu kesatuan dengan tema besar tidak ada ruang untuk kebencian sehingga interpretasinya menjadi seperti yang terpampang di samping-samping panggung pertunjukan konser Jogjarockarta. "Di Jogjarockarta akan selalu ada commission artist, mereka bertugas untuk memunculkan lokalitas. Jogjarockarta tidak seperti konser lain yang justru menjauh dari lokalitas itu," kata dia.

Tidak secara spesifik dia menyebutkan harus perupa tertentu karena akan sangat terbuka kemungkinan ada artis lokal lain, dari daerah lain, baik muda maupun tua, perorangan atau grup.

Bakkar pun ingin menegaskan Jogjarockarta menjadi sebuah peristiwa kebudayaan, khususnya musik. "Tahun lalu temanya Make Your History, kami ingin semua yang hadir menjadi saksi sebuah peristiwa kebudayaan, khususnya musik."

Itulah mengapa dalam peristiwa kebudayan selalu ada artis lokal, dalam arti seniman yang dilibatkan. Itu yang jadi karakter Jogjarockarta. "Kami ingin orang melihat Jogjarockarta itu sangat Indonesia. Indonesia muncul, beda dengan festival lain yang acap kali menawarkan hal yang agak kebule-bulean. Kita justru justru kebalikannya, ini harus Indonesia banget," kata Bakkar.

Pihaknya juga berharap festival-festival lain di daerah melakukan hal yang sama. Misalnya, di Kalimantan, akan menunjukkan karakter daerah mereka. "Ketika menampilkan hal-hal yang lokal dan terpublikasi secara luas, dunia internasional akan tahu seperti apa dan ada apa di kota tertentu. Efeknya kita bisa berharap pada dunia pariwisata, ekonomi lokal, jadi bukan hanya sekadar rock-rocakan, bengak-bengok (teriak-teriak), metal-metalan," pungkas Bakkar. (M-2)

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Riky Wismiron
Berita Lainnya