SUATU sore di antara hawa dingin Gunung Rinjani, sekelompok pria berkumpul di lapangan desa. Di tangan mereka terlilit tali tambang yang ujungnya terikat pada benda berbentuk lempengan lingkaran berdiameter sekitar 20 cm-30 cm. Benda lempeng dengan dominasi cat biru-hitam atau oranye itu memiliki tonjolan pada ketua kutubnya. Tonjolan di bagian bawah tampak lebih runcing. Ketika giliran tiba, satu per satu para pria itu akan melemparkan lempengan tadi ke tanah.
Lilitan tambang yang terlepas membuat benda lempeng itu berputar cepat. Lamanya putaran ialah prestise bagi sang pria. Kemahiran dan kekuatan tangan mereka disaksikan warga yang berkerumun. Inilah permainan gasing yang telah menjadi budaya turun-temurun di di Desa Sembalun, Lombok, Nusa Tenggara Barat. Gasing-gasing aduan itu dibuat dari campuran pelat baja atau besi. Perlombaan gasing bukan hanya diadakan perorangan, melainkan juga diadakan khusus antardesa. Perlombaan ini dimainkan secara beregu. Kemenangan ditentukan dari lamanya gasing berputar.
Peserta permainan yang seluruhnya pria dewasa menunjukkan gengsi permainan ini bagi masyarakat setempat. Gengsi itu masih terus bertahan meski desa tersebut tidak luput dari invasi budaya modern. Permainan gasing di Sembalun memang sesungguhnya bukan semata hiburan atau kompetisi. Dalam permainan ini kisah keakraban dan keguyuban sosial. Tanpa perlu peralatan muluk dan mahal, warga sedesa bisa bergembira bersama. (Sumaryanto Bronto/M-3)