DI atas punggung tiap unta itu, tampak sosok-sosok mungil memegang semacam tongkat kurus. Saat unta-unta mulai berlari dari garis start, sosok-sosok mungil itu terlihat memecutkan tongkat mereka. Naik-turun agar unta berlari lebih kencang. Namun, jangan heran jika gerakan mereka tampak begitu kaku.
Sosok-sosok mungil di lomba balap unta di Festival Liwa 2017 Moreeb Dune di padang pasir Liwa, Abu Dhabi, itu memang robot. Keberadaan mereka ialah perubahan dari perbudakan anak yang menjadi bagian kelam dari budaya balap unta. Olahraga balap unta meluas di negara-negara jazirah Arab sejak ratusan tahun lalu. Namun, ambisi menjadi yang tercepat membuat anak-anak dipergunakan sebagai joki karena bobot tubuh yang ringan.
Kondisi memicu timbulnya perbudakan anak, bahkan penculikan anak untuk dijadikan joki. Biasanya, para joki tesebut adalah anak-anak dari Sudan atau Pakistan dan baru berusia 2-3 tahun. Jumlah mereka mencapai ribuan dan hidup terkungkung dalam kamp. Banyak pula di antara mereka yang menderita cedera parah akibat terjatuh dari unta.
Penghentian kondisi menyedihkan itu dimulai saat Uni Emirat Arab pada 2002 melarang penggunaan joki di usia di bawah 15 tahun. Pemerintah Qatar juga telah mengembangkan penggunaan robot sebagai joki sejak 2001.
Pada 2007, Qatar mengharuskan seluruh joki yang dipergunakan dalam perlombaan balap unta adalah robot. Maka kini robot sudah menjadi pemandangan umum di olahraga tersebut. Balap unta biasanya diikuti negara-negara yang tergabung dalam kelompok Gulf Cooperation Council (GCC). Di UEA sendiri, awalnya itu hanya dipertunjukkan dalam suasana tidak resmi dalam memeriahkan sebuah pesta pernikahan. (M-3)