Headline
Berdenyut lagi sejak M Bloc Space dibuka pada 2019, kini kawasan Blok M makin banyak miliki destinasi favorit anak muda.
Berdenyut lagi sejak M Bloc Space dibuka pada 2019, kini kawasan Blok M makin banyak miliki destinasi favorit anak muda.
PENGAMAT perbankan Universitas Bina Nusantara (Binus) Qudrat Nugraha menilai dugaan pembobolan dana nasabah melalui pemalsuan bilyet deposito oleh oknum di PT Bank Tabungan Negara Tbk menimbulkan ketakutan bagi nasabah untuk menyimpan dananya di bank.
"Itu (kasus BTN) sangat besar pengaruhnya di masyarakat. Apalagi kalau kasus itu terus menerus menjadi pemberitaan. Kejahatan seperti ini juga bisa menimpa lebih banyak orang, sementara banknya cuci tangan," katanya saat diminta komentar terkait pembobolan dana beberapa nasabah, di antaranya PT Surya Artha Nusantara Finance (SANF) senilai Rp110 miliar, di Jakarta, Minggu (2/4).
Sebelumnya, Direktur Utama BTN Maryono mengakui kasus itu kini masih dalam proses hukum dan perseroan telah mengembalikan dana nasabah sebesar Rp140 miliar dari total dana hilang dalam kasus itu sebesar Rp258 miliar.
Menurut Qudrat, bisnis perbankan merupakan bisnis yang sangat mengedepankan kepercayaan nasabah. Kalau saja bank sudah tidak bisa lagi dipercaya oleh masyarakat, kata dia, maka industri keuangan di Indonesia akan hancur berantakan. Karena itu, Qudrat meminta BTN untuk tidak cuci tangan dan bertanggung jawab atas raibnya dana masyarakat tersebut.
"Dengan kata lain dapat diilustrasikan kasusnya seperti terjadi ada sebuah kejahatan di dalam atau di halaman rumah seseorang (BTN). Tetapi kok bisa mereka (BTN) tidak mengetahuinya dan tidak mau bertanggung jawab," ujarnya.
Karena itu, katanya, sudah menjadi tanggung jawab BTN. Oknum (BTN) harus diperiksa intensif oleh tim independen karena nilainya cukup besar. Harus dilihat apa betul pemalsuan dan pelaksanaan bisnis proses bilyet giro BTN dilaksanakan di luar sistem BTN atau di luar 'rumah' mereka.
Menurut dia, urusan ganti rugi kepada nasabah sebenarnya tidak dapat serta merta dilemparkan ke Lempaga Penjamin Simpanan (LPS) karena LPS sendiri juga tidak mau menanggung beban tersebut karena di luar prosedur.
Untuk itu, dia meminta kasus seperti ini untuk tidak ditutup-tutupi, agar dapat membuka mata semua pemangku kepentingan perbankan. Media massa juga harus ikut terus mengikutinya, karena ini bisa menimpa semua nasabah.
"Pada intinya, uang nasabah diupayakan untuk bisa dikembalikan, sebab itu adalah hak mereka. Tetapi harus diupayakan dengan jalur yang benar. Karena ini negara hukum, maka jalur hukum harus ditempuh secara transparan dan akuntabel melibatkan pemangku kepentingan industri keuangan secara komprehensif," ujar dia.
Sementara itu, secara terpisah kuasa hukum PT SANF, TM Mangunsong, mengatakan, berdasarkan rapat dengar pendapat DPR dengan BTN sebelumnya bahwa sangat jelas dikatakan oleh anggota dewan bahwa BTN diwajibkan mengganti uang milik para nasabah yang hilang, termasuk dana PT SANF Rp110 miliar.
Hal itu sesuai Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 yang mewajibkan bank untuk menjamin dana nasabah dan PBI No16/1/PBI/2014, tentang bank harus bertanggung jawab atas kerugian yang dialami nasabah.
"Jadi kalau BTN memahami ketentuan perbankan di atas, maka sudah seharusnya direksi BTN tidak berusaha untuk cuci tangan dan lempar tanggung jawab," kata Mangunsong.
Dikatakannya, pada kasus itu, BTN terbukti gagal menerapkan tata kelola perbankan secara benar. Selain itu, prinsip kepercayaan, kehati-hatian dan pengenalan nasabah, tidak dilakukan secara benar. Dengan tidak diterapkannya prinsip di atas, hal itu juga merupakan tindak pidana perbankan yang dapat dikenakan
kepada dewan direksi atas dugaan pelanggaran dan pengelolaan buruk perbankan.
"Sesuai dengan UU No 40/2007 tentang Perseroan Terbatas, maka direksilah yang bertanggung jawab terhadap pengurusan perseroan," ujarnya.
Untuk itu, lanjut Mangunsong, bila tidak ada penyelesaian pengembalian atas dana nasabah PT SANF ini, pihaknya juga akan melaporkan Direksi BTN ke Mabes Polri, terkait dugaan tindak pidana perbankan.
Selain itu, kata Mangunsong, pihaknya mendesak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) agar tidak berpangku tangan melihat situasi ini.
"OJK harus bertindak tegas dengan memerintahkan BTN segera mengembalikan dana para nasabah, guna menjaga kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankkan," katanya.
Pengurus Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Sularsi, menyatakan dalam kasus penggelapan dana deposito nasabah di BTN itu sesuai UU Perlindungan Konsumen, setidaknya ada dua hal yang harus dilakukan yakni secara perdata, BTN harus mengembalikan dana nasabahnya dan secara pidana, oknum BTN adalah urusan internal bank itu. (OL-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved