Headline
Senjata ketiga pemerataan kesejahteraan diluncurkan.
Tarif impor 19% membuat harga barang Indonesia jadi lebih mahal di AS.
EMITEN pertambangan, PT Vale Indonesia Tbk, mengatakan tidak membagikan dividen kepada para pemegang saham pada tahun ini. Perseroan memilih menahan laba yang diperoleh tahun lalu guna menopang rencana ekspansi.
“Tadi sudah diputuskan dalam rapat umum pemegang saham (RUPS) bahwa tahun ini kami tidak membagikan dividen karena situasi keuangan perusahaan,” kata Direktur Utama PT Vale Indonesia Tbk Nico Kanter seusai RUPS di Jakarta, Senin (27/3).
Direktur Keuangan Vale Febriany mengatakan perusahaan telah mempertimbangkan profit tahun berjalan dan ketersediaan arus kas dalam pengambilan keputusan tidak membagikan dividen. Kinerja perseroan amat terpengaruh oleh harga nikel.
Harga nikel mengalami penurunan dari US$ 12.500 per ton menjadi US$9.910 per ton (merujuk London Metal Exchange per Senin, 27/3). Biaya produksi perusahaan turun 18% karena harga nikel turun 22%. Hal itu berakibat pada pendapatan perusahaan yang turun 26% atau sebesar US$205,6 juta dari sebelumnya US$789,7 juta pada 2015, menjadi US$584,1 juta pada 2016. Profit turun menjadi US$1,9 juta.
“Kalau kami lihat, profit untuk 2016 US$1,9 juta, relatif lebih rendah daripada 2015, yaitu US$50,5 juta. Dari sisi arus kas, kami masih harus menyisihkan arus kas untuk program ekspansi di masa mendatang. Juga harga nikel kalau dilihat juga belum membaik. Dengan pertimbangan demikian, sulit membayar dividen yang signifikan,” tandasnya.
Untuk tahun ini, Vale menargetkan kapasitas produksi maksimal 80 ribu ton nikel. Pada 2016 lalu, produksi mereka hanya 77.581 ton.
“Untuk belanja modal tahun ini kami estimasi akan lebih tinggi dari 2016, mendekati US$90 juta dengan pendanaan dari arus kas sendiri. Sebagian besar masih untuk area Sorowako, sebagian besar masih untuk mempertahankan keberlangsungan operasi perusahaan. Karena smelter sudah berproduksi sekitar 40 tahun. Jadi, memang perlu peremajaan. Ada sebagian kecil yang memang kami alokasikan untuk ekspansi di Sorowako,” jelas Febriany.
KKGI Optimis
Emiten pertambangan lainnya, yakni PT Resource Alam Indonesia Tbk (KKGI), optimistis pendapatan perusahaan akan lebih tinggi pada tahun ini karena harga batu bara sedang dalam kondisi tinggi. Dengan demikian, mereka dapat mewujudkan target volume penjualan hingga 4 juta ton batu bara atau naik sekitar 25%.
“Kami berharap harga bisa US$75 hingga US$85 per ton terhadap indeks New Castle,” ujar Dirut KKGI Pintarso Adijanto saat pengumuman split saham di Gedung Bursa Efek Indonesia, Senin (27/3).
Volume penjualan tahun lalu, kata Pintarso, sekitar 3,2 juta ton. Sebesar 95% hasil produksi batu bara perusahaan ini digunakan untuk ekspor, dengan negara utama Korea, Tiongkok, dan India. Tahun ini mereka menyasar pasar baru, yaitu Kamboja sebagai negara tujuan ekspor.
Tahun ini perseroan melakukan stock split atau pemecahan jumlah lembar saham menjadi jumlah lembar yang lebih banyak, dengan rasio 1:5.
Direktur KKGI, Agoes Soegiarto Soeparman, menjelaskan pihaknya akan melakukan buy back saham jika harga saham perusahaan di pasar dinilai tidak mencerminkan kinerja KKGI. (E-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved