Headline

Dalam suratnya, Presiden AS Donald Trump menyatakan masih membuka ruang negosiasi.

Fokus

Tidak semua efek samping yang timbul dari sebuah tindakan medis langsung berhubungan dengan malapraktik.

Proteksi akan Dibatasi

Anshar Dwi Wibowo
10/12/2015 00:00
Proteksi akan Dibatasi
( ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf)
PEMERINTAH akan mengurangi privilese bagi pelaku usaha di dalam negeri, termasuk untuk perusahaan pelat merah.  Hal tersebut untuk menjadikan perusahaan-perusahaan Indonesia berdaya di kancah global. Sekretaris Kabinet Pramono  Anung mengatakan Presiden Joko Widodo menekankan, di masa mendatang Indonesia mesti siap berkompetisi. Karena itu, hal-hal yang berkaitan dengan subsidi, proteksi, dan bentuk keistimewaan lain akan dikurangi secara bertahap. "Termasuk kepada BUMN," ujarnya seusai Sidang Kabinet Paripurna di Bogor, Jawa Barat, Selasa (8/12). Pramono mencontohkan, pengurangan proteksi bagi BUMN kelak antara lain di bidang farmasi.

Umpama, dengan melonggarkan kebijakan investasi asing di sektor tersebut. Selama ini, ujarnya harga obat-obatan relatif mahal karena industri bersangkutan kurang efisien. Hal tersebut merugikan konsumen. Dengan investor asing lebih leluasa masuk, efisiensi industri diharap naik. Dalam kesempatan terpisah, Sekretaris Kementerian BUMN Imam A Putro mengklaim pihaknya sudah menjalankan keinginan Presiden. Ia mencontohkan itu di antaranya dalam bentuk pengurangan subsidi. "Di APBN 2016 banyak berkurang." Sementara itu, Dirut PT Pos Indonesia Gilarsi Wahyu Setijono mendukung pelonggaran proteksi bagi BUMN. BUMN diakuinya harus bisa berkompetisi secara mandiri.

"Sebetulnya sudah saatnya negara ini meminta BUMN, bukan malah menyubsidi," ujarnya. Pihaknya mendapat subsidi untuk tugas pelayanan publik (public service obligation/PSO) Rp279 miliar tahun ini. Di 2016, subsidi BUMN itu naik menjadi Rp298 miliar. Dengan tugas PSO termasuk melayani wilayah terpencil itu, Gilarsi berharap pemerintah maklum jika profit perseroan menurun andai subsidi digerus. Manajer Humas dan Hubungan Kelembagaan PT Pelni Akhmad Sujadi menyatakan BUMN pelayaran itu bisa terancam setop operasi jika tanpa subsidi. Sebab, subsidi dipakai untuk menopang penumpang kelas ekonomi yang porsinya sekitar 96% dari penumpang Pelni. "Tidak seimbang antara tarif dan biaya operasional."

Pasar bahan baku
Perihal sektor farmasi, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mendorong investasi di sektor itu agar pasar obat dan bahan bakunya bisa berkembang. Dengan begitu, impor bahan baku yang mencapai 95% dan membuat harga obat di dalam negeri tinggi bisa ditekan. Dalam pembahasan revisi Panduan Investasi--dulu bernama Daftar Negatif Investasi--BKPM berencanamelepas batas kepemilikan asing di bidang industri bahan baku obat dan industri obat jadi dari sekarang maksimal 85% menjadi 100%. "Kalau pemerintah mau buka 100%, jelaskan dulu apakah itu untuk industri bahan baku dari awal, yang juga disebut kimia dasar, atau industri yang masih impor bahan baku setengah jadi?" tanya Direktur Eksekutif Asosiasi Perusahaan Farmasi Multinasional (IPMG) Parulian Simanjuntak saat dimintai komentarnya tentang rencana BKPM.

Menurutnya, dependensi akan bahan baku impor bukan faktor utama mahalnya harga jual obat. Formulasi perhitungan harga jual tidak terlepas dari biaya distribusi yang membengkak karena kondisi geografis, pajak, dan suku bunga bank. Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Farmasi Indonesia Dorodjatun Sanusi mempersilakan investasi asing untuk produksi bahan baku obat (BBO) dibuka 100%. "Karena memang minim sekali yang mau mengembangkan," kata dia. Informasi yang ia dapat, ada 26 investor asing diundang pemerintah untuk menjajaki industri BBO. Ia meminta pemerintah mempersuasi investor asal Tiongkok atau India mengingat dua negara itu ialah importir BBO terbesar ke Tanah Air.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Admin
Berita Lainnya