Headline

Pemerintah merevisi berbagai aturan untuk mempermudah investasi.

Fokus

Hingga April 2024, total kewajiban pemerintah tercatat mencapai Rp10.269 triliun.

Pemerintah Diminta Bendung Pengurangan Karyawan Freeport

Tesa Oktiana Surbakti
07/3/2017 16:12
Pemerintah Diminta Bendung Pengurangan Karyawan Freeport
(ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja)

POLEMIK konversi status dari Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), membuat PT Freeport Indonesia (PTFI) menghentikan operasional wilayah pertambangan di Papua. Hal ini kian mengkhawatirkan, khususnya terhadap nasib ribuan karyawan yang terancam dirumahkan atau terdampak pemutusan hubungan kerja (PHK).

Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mendesak pemerintah segera mengambil langkah untuk membendung gelombang munculnya angka pengangguran baru. Perwakilan kaum pekerja ini meminta pemerintah membentuk tim task force yang fokus mengatasi implikasi jika terjadi PHK besar-besaran.

KSPI menilai pemerintah kurang mempertimbangkan aspek ketenagakerjaan dalam ruang negosiasi dengan PTFI yang selama 120 hari sejak 17 Februari 2017. Pasalnya, bila tidak terjadi titik temu atas perubahan status yang ditolak PTFI, maka perselisihan itu berpotensi berakhir ke jalur arbitrase.

Ancaman itu digaungkan langsung oleh CEO Freeport-McMoran Richard C. Adkerson saat bertandang ke Indonesia beberapa waktu lalu.

“Pemerintah mengabaikan persoalan tenaga kerja (dalam negosiasi). Yang selalu jadi pembahasan itu perubahan KK menjadi IUPK, divestasi saham bahkan konsesi lahan. Bayangkan ada 32 ribu tenaga kerja lokal yang bekerja di Freeport, bagaimana nasibnya bila akhirnya ada implikasi pengurangan karyawan,” cetus Ketua KSPI Said Iqbal dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (7/3).

Memang sampai saat ini belum terjadi PHK di lingkup Freeport, melainkan karyawan yang berstatus dirumahkan. Kendati demikian, pihaknya khawatir kisruh Freeport berdampak meluas hingga PHK karyawan.

Said pun mengkritisi semangat nasionalisasi perusahaan tambang asing yang kini digencarkan pemerintah melalui divestasi saham hingga 51 persen. Dia pun mempertanyakan kemampuan pemerintah ataupun swasta nasional dalam menggarap wilayah pertambangan, utamanya dalam menjamin kesejahteraan karyawan.

“Apakah dengan divestasi 51 persen itu status buruh akan lebih sejahtera? Tolong hentikan retorikan nasionalisme semu yang sesungguhnya sudah terjawab di PT Amman Mineral Nusa Tenggara. Meski diakuisisi keluarga Panigoro, toh pemodalnya dari asing,” pungkas Said.

Said kembali menekankan agar pemerintah menjadikan aspek ketenagakerjaan sebagai pertimbangan utama dalam membentuk regulasi atau kebijakan baru. Dalam hal ini dia menyoroti implementasi hilirisasi mineral yang merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara.

Menurutnya, lebih baik pemerintah menjaga keberlangsungan fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral (smelter) yang dikelola PT Smelting di Gresik. Sejak 19 Januari 2017, karyawan PT Smelting melakukan mogok kerja lantaran adanya diskriminasi upah.

Di antaranya menaikkan gaji pekerja sebesar 5 persen, sedangkan karyawan di level manajerial mengalami kenaikan hingga 170 persen. Tidak beroperasinya smelter ini lah yang menyebabkan penuhnya gudang penyimpanan konsentrat di wilayah tambang Freeport.

Pasalnya, selama ini 40 persen konsentrat diserap smelter berkapasitas 300 ribu ton per tahun tersebut. Di satu sisi Freeport tidak bisa mengekspor konsentrat lantaran belum mau menerima konversi status, meski pemerintah sudah menerbitkan izin rekomendasi ekspor konsentrat.

“Semestinya pemerintah memperluas industri smelter. Karena begitu dibuat satu lagi pabrik, itu bisa merekrut 2-3 ribu tenaga kerja. Pemerintah harus intervensi PT Smelting untuk tidak lakukan PHK karyawan lokal. Karena beroperasinya smelter ini kunci bagi masalah Freeport yang kini menghentikan operasi,” imbuhnya.

Ketua PUK SPL Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) PT Smelting Zainal Arifin mengungkapkan jumlah pekerja yang terhimpun dalam asosiasi mencapai 500 orang. Sebanyak 309 orang di antaranya melakukan mogok kerja yang mencakup hampir seluruh bagian operasional perusahaan, mulai dari bongkar muat di pelabuhan, laboratorium hingga finishing.

Perusahaan diketahui telah mem-PHK 309 orang yang melakukan mogok kerja. Zainal menyesalkan sikap sewenang-wenang perusahaan yang melakukan PHK tanpa alasan jelas. Tidak berhenti sampai di situ, manajemen PT Smelting yang merupakan investor asal Jepang diketahui tidak membayarkan gaji karyawan terhitung sebelum aksi mogok kerja.

“Perusahaan juga terindikasi membohongi Dinas Ketenagakerjaan dengan mengirimkan surat untuk mediasi dengan pekerja. Cuman anehnya pihak Dinas mengabulkan permohonan tersebut, seolah perusahaan sudah mengirimkan surat bipartit. Padahal kami saja tidak diperbolehkan masuk areal pabrik untuk mediasi,” tutur Zainal.

Pihaknya berharap pemerintah pusat segera bertindak agar ratusan karyawan PT Smelting dapat kembali bekerja dan mendapatkan haknya. Dia berpendapat aksi mogok kerja sebenarnya juga merugikan perusahaan. Sebab, untuk mengoperasikan smelter yang sempat terhenti membutuhkan waktu dan penyesuaian.

Saat ini, PT Smelting disebut sudah kembali mengoperasikan smelter Gresik walaupun baru sekitar 20 persen. Ada dugaan perusahaan telah mempekerjakan karyawan baru. Pihaknya pun menyesalkan sikap perusahaan yang mengabaikan hak ratusan karyawan yang di-PHK secara sepihak.(OL-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Soelistijono
Berita Lainnya