"KETIMPANGAN di Indonesia bahkan bermula sejak dari kandungan," ungkap Matthew Wai-Poi, Senior Poverty Economist Bank Dunia.
Ia mengemukakan itu dalam seminar Akhiri Ketimpangan untuk Indonesia, sekaligus peluncuran laporan Indonesia's Rising Divide di Jakarta, kemarin.
Dari penelitian Bank Dunia, perekonomian Indonesia mencetak pertumbuhan yang signifikan dalam 15 tahun terakhir. Walakin, pesatnya laju perekonomian dibarengi memburuknya kesenjangan. Koefisien Gini, yakni indikator bias timpang kesejahteraan masyarakat Indonesia dewasa ini bernilai sama dengan negara seperti Uganda dan Pantai Gading. Bahkan, nilainya lebih buruk daripada India.
"Pada 2003, koefisien Gini Indonesia 0,3, tapi sekarang sudah 0,4. Itu perubahan sangat besar," kata Direktur Bank Dunia untuk Indonesia Rodrigo A Chaves dalam kesempatan sama.
Apalagi, ketimpangan itu terjadi sejak dini. Ia mencontohkan, anak di Papua lahir dari orangtua yang tidak berpendidikan hanya punya peluang 2% untuk mendapat akses sanitasi. Rendahnya pendidikan acap dibarengi rendahnya kualitas pekerjaan yang kemudian berdampak pada kualitas hidup.
"Anak dengan orangtua berpendidikan punya 94% probabilitas untuk hidup lebih baik. Banyak hal dipertaruhkan kala Indonesia tak bisa mengatasi ketimpangan ini," tutur Chaves.
Bank Dunia pun mengusulkan sejumlah langkah kepada pemerintah, mulai dari perbaikan pelayanan publik sampai prioritas belanja negara.
Deputi Kependudukan dan Ketenagakerjaan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas Rahma Iriyanti mengatakan koefisien Gini di Indonesia melandai setahun ini. Ia tidak menampik turunnya pendapatan masyarakat kelas menengah di tengah kelesuan ekonomi membuat kesenjangan mengecil. Rahma mengakui pemerintah punya pekerjaan besar untuk mengikisnya. Apalagi, pada 2016, pemerintah ingin koefisien Gini turun ke 0,39.
Upaya penting yang perlu dilakukan, kata Rahma, ialah memastikan realisasi kebijakan fiskal tahun depan berjalan dengan kerangka pemikiran untuk pemerataan pembangunan.
Tidak terampil Di tempat sama, Kepala Ekonom Bank Dunia Vivi Alatas mengatakan salah satu cara mengatasi kesenjangan adalah dengan menyediakan pekerjaan layak bagi semua orang.
Menurut Bank dunia, saat ini di Indonesia, hanya segelintir pekerja terampil berpengalaman yang dibayar dengan layak. Sisanya mengalami kesenjangan baik dari segi pengupahan, pemberian keterampilan, hingga tingkat pendidikan.
Dari riset lembaga itu, baru 5% perusahaan di Indonesia memberi pelatihan dan 4,7% menyediakan pelatihan kerja. Tidak mengherankan baru 40% dari angkatan kerja nasional yang punya keterampilan. "Padahal tenaga kerja terampil bisa dibayar dua kali lebih mahal daripada yang tidak."
Penasihat Wapres RI Sofjan Wanandi menekankan demo buruh acap meredupkan minat investor. Itu bisa menggiring kepada kesenjangan dan kemiskinan yang lebih dalam.
Ketua Umum Serikat Pekerja Seluruh Indonesia Sjukur Sarto berpendapat pengusaha yang profesional dapat menghargai pekerjanya dengan memberi upah sesuai. (E-2)