Headline

Kemenu RI menaikkan status di KBRI Teheran menjadi siaga 1.

Fokus

PSG masih ingin menambah jumlah pemain muda.

Fokus Bahan Baku Industri

Fetry Wuryasti
08/2/2017 07:45
Fokus Bahan Baku Industri
(Antara/Widodo S Jusuf)

AWAL tahun ini, pemerintah fokus mengevaluasi deregulasi yang telah dilakukan pada sektor industri, terutama pengolahan. Penyebabnya, performa sektor tersebut pada 2016 belum optimal.

Itu disampaikan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Thomas Lembong seusai rapat koordinasi bersama Satgas Percepatan dan Efektivitas Pelaksanaan Paket Ekonomi di Kantor Kementerian Koordinator Perekonomian, Jakarta, kemarin.

Dalam kapasitasnya sebagai Ketua Pokja I Bidang Sosialisasi dan Diseminasi Kebijakan, Thomas mengatakan dalam 1-2 bulan ke depan, satgas akan fokus pada regulasi yang mempermudah industri dalam membuat bahan baku di dalam negeri. "Kami mau fokus di industri karena dari angka-angka PDB (produk domestik bruto) kemarin, sangat menonjol pertumbuhan sektor industri ada di bawah pertumbuhan ekonomi secara umum," ucapnya.

Secara umum, Satgas menyoroti ketergantungan industri dasar di Tanah Air terhadap bahan baku impor. Kebutuhan itu, menurut Thomas, mencapai sekitar 95%. Salah satu faktor yang diinventarisasi Satgas ialah adanya restriksi bagi suatu industri untuk mengambil atau membeli limbah industri lain guna dijadikan bahan baku.

"Kita terlalu kaku. Yang mau buang limbah juga susah dan mahal, tapi yang mau beli limbahnya juga tidak boleh. Malah terpaksa impor," ujarnya.

Dalam laporan Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2016 industri pengolahan masih mendominasi struktur perekonomian nasional dengan porsi 20,5%. Walakin, pertumbuhannya terus melandai di bawah pertumbuhan ekonomi nasional yang berkitar 5%. Pada 2014, sektor industri pengolahan tumbuh 4,64%. Tahun berikutnya 4,33% dan 4,29% pada 2016.

Di tempat sama, Deputi Bidang Perniagaan dan Industri Kemenko Perekonomian Edy Putra Irawady mengatakan subsektor industri yang dependensinya atas impor bahan baku perlu segera dilibas ialah industri farmasi. "Jangan sampai JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) hanya untuk membayar obat impor," kata dia.

Soal beban bahan baku impor juga dirisaukan Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gappmi) karena itu ikut mengurangi daya saing di pasar ekspor. Ketua Umum Gappmi Adhi S Lukman mengungkapkan tahun lalu banyak perusahaan mengekspor dengan harga diskon. "Daripada produksi tidak jalan, lebih baik jual murah tapi tetap tumbuh meski profit turun sementara. Namun, kalau ini dalam jangka panjang, ya tidak bagus," tuturnya dalam diskusi di Kantor Kementerian Perindustrian, Jakarta, kemarin.

Prakiraan Gappmi, defisit neraca dagang pada 2016 melampaui US$760 juta, melebar dari defisit US$276,09 juta di 2015.

Dalam menanggapi itu, Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto mengatakan pemerintah terus berupaya mengurangi beban para industrialis, di antaranya dengan membangun fasilitas kemudahan impor tujuan ekspor bagi industri kecil menengah nasional.

Impor gas
Pemerintah pun tengah menjajaki aturan importasi gas alam cair (LNG) bagi industri. Namun, beleid itu mungkin tidak keluar segera lantaran importasi LNG butuh infrastruktur penunjang yang memadai, seperti fasilitas terminal regasifikasi. "Sedang dipelajari (impor gas untuk industri)," ujar Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar di sela-sela Forum IndoGas 2017 di Jakarta, kemarin.

Ia menegaskan pemerintah masih mencari cara agar industri memperoleh harga gas yang kompetitif. Saat ini dari tujuh golongan industri yang diprioritaskan mendapat suplai gas dengan harga maksimal US$6 per mmbtu sesuai dengan Paket Kebijakan III, baru tiga yang sudah menikmati. Mereka industri pupuk, baja, dan petrokimia. (Arv/Tes/E-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya