Headline

Berdenyut lagi sejak M Bloc Space dibuka pada 2019, kini kawasan Blok M makin banyak miliki destinasi favorit anak muda.

Fokus

PSG masih ingin menambah jumlah pemain muda.

Kawal Inflasi untuk Jaga Rasio Gini

Fathia Nurul Haq
03/2/2017 10:01
Kawal Inflasi untuk Jaga Rasio Gini
()

TINGGINYA inflasi akan menggerus daya beli masyarakat hingga berujung meningkatnya kembali rasio Gini, indikator ketimpangan di masyarakat. Risiko itu harus dapat ditanggulangi pemerintah agar kesenjangan sosial tidak kembali melebar.

Menurut ekonom Institute Deve-lopment of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara, turunnya ketimpangan di 2016 bisa ditelusuri dari inflasi yang rendah yakni 3,02%. Rekor inflasi itu terendah sejak 2010. Inflasi yang rendah lebih merupakan bonus harga komoditas yang turun sehingga tidak ada dorongan kenaikan tarif listrik ataupun harga bahan bakar minyak (BBM).

"Namun, di 2017 kondisi bisa berbalik. Inflasi per Januari sudah tercatat 0,97% atau tertinggi selama tiga tahun terakhir," terang Bhima melalui pesan singkat di Jakarta, kemarin.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi tahunan per Januari sudah lebih tinggi dari inflasi 2016, yakni 3,49%, berkat sumbangan inflasi Januari yang tinggi tersebut. Komponen harga diatur pemerintah (administered price) menjadi lokomotif utama. Komponen inflasi inti juga tercatat cukup tinggi yakni 3,35%.

"Hal itu mengindikasikan berge-raknya permintaan agregat di dalam negeri," jelas Bhima.

Menurut Chief Economist CIMB Niaga Adrian Panggabean, inflasi Januari merupakan risiko dari perbaikan alokasi subsidi yang harus dilakukan pemerintah agar subsidi lebih tepat sasaran. Kompensasinya, pemerintah diharapkan bisa meningkatkan pengeluaran pada kuartal pertama ini untuk menutupi daya beli yang tergerus inflasi.

Pengangguran
Di sisi produksi, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) mencatat tingginya tingkat pengangguran muda dan relatif terdidik/terampil di perkotaan dewasa ini lebih disebabkan adanya kemampuan angkatan kerja muda produktif memilih-milih pekerjaan.

Menurut Menteri Ketenagakerjaan M Hanif Dhakiri, kemampuan itu dimungkinkan karena pengangguran usia muda ini masih menumpang hidup bersama orangtua. Kemampuan mereka untuk mengakses tingkat pendidikan hingga jenjang SMK pun mengindikasikan mereka bukanlah berasal dari keluarga yang benar-benar miskin. Berdasarkan data BPS, sampai pada Agustus 2016, tingkat pengangguran penduduk usia 15-24 tahun di perkotaan 48,6% dan tingkat pengangguran SMK ialah 10,91%.

Sebaliknya, masalah ketenaga-kerjaan di perdesaan ialah ketiadaan pilihan lapangan pekerjaan. "Di perdesaa, terdapat gejala 'too poor to be unemployment' (terlalu miskin untuk jadi pengangguran). Penduduk miskin di perdesaan akan bekerja apa saja semata untuk bertahan hidup dari hari ke hari," kata Hanif dalam Rakortas Kemenaker di Jakarta, kemarin.

Indikasi gejala itu, lanjutnya, dapat terlihat dengan cukup jelas. Dalam tiga tahun terakhir, meski tingkat pengangguran di wilayah perdesaan selalu lebih rendah daripada daerah perkotaan, tingkat kemiskinan di perdesaan selalu lebih tinggi ketimbang daerah perkotaan.

BPS mencatat, pada Agustus 2016 tingkat pengangguran di perdesaan bergerak dari 4,81% di 2014 menjadi 4,93% dan 4,51% pada 2015 dan 2016. Sebaliknya tingkat kemiskinan di perdesaan bergerak dari 13,76% pada 2014 menjadi 14,09% dan 13,96% pada 2015 dan 2016. (Arv/E-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya