Headline

Berdenyut lagi sejak M Bloc Space dibuka pada 2019, kini kawasan Blok M makin banyak miliki destinasi favorit anak muda.

Fokus

PSG masih ingin menambah jumlah pemain muda.

Isu SARA Ganggu Ekonomi

Anastasia Arvirianty
24/1/2017 08:06
Isu SARA Ganggu Ekonomi
(Antara/Widodo S Jusuf)

ISU suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) yang marak akhir-akhir ini menjadi salah satu faktor penghambat laju repatriasi amnesti pajak.

Hal itu dikemukakan Ketua Tim Ahli Wakil Presiden, Sofjan Wanandi, dalam diskusi panel SARA, Radikalisme, dan Prospek Ekonomi Indonesia 2017 di Graha CIMB Niaga, Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, kemarin.

"Sebenarnya pengusaha optimistis sewaktu pemerintah mengumumkan program amnesti pajak. Ketika terjadi demonstrasi yang menyangkut isu SARA belakangan ini, pengusaha menjadi ragu dan menahan partisipasinya. Sekarang yang penting perbaiki dulu kondisi Indonesia, khususnya perpolitikan nasional," kata Sofjan.

Sebagai gambaran, program amnesti pajak periode pertama (Juli-September 2016) menghasilkan deklarasi sebesar Rp3.604 triliun dengan nilai repatriasi Rp137 triliun dan tebusan Rp97 triliun.

Dalam amnesti pajak gelombang kedua (Oktober-Desember 2016), nilai deklarasi mencapai Rp692 triliun dengan repatriasi sebesar Rp4 triliun dan tebusan Rp9,5 triliun.

Ke depan, Sofjan Wanandi berharap pemerintah bekerja keras mengurangi kesenjangan yang dapat memicu munculnya isu SARA dengan mengembangkan industri di dalam negeri, terutama sektor-sektor yang menjadi kekuatan Indonesia seperti pertanian dan perkebunan. "Kuncinya memperkuat pengusaha dan industri di dalam negeri."

Staf Ahli Menko Perekonomian Bobby Hamzar Rafinus justru tidak mengkhawatirkan isu SARA terhadap perekonomian nasional. Dia justru melihat ancaman terbesar bagi Indonesia ialah kondisi perekonomian global. "Tekanan global di sektor keuangan meningkat. Kemungkinan (memicu) volatilitas rupiah dan arus modal (keluar) lebih tinggi."

Adapun hambatan domestik, lanjut Bobby, ialah daya beli masyarakat yang sedang tergerus. "Karena itu, pemerintah mesti memperbaiki daya beli masyarakat agar bisa mendorong pertumbuhan ekonomi."

Dipolitisasi
Kedatangan tenaga kerja asal Tiongkok ke Tanah Air juga kerap menimbulkan gesekan di beberapa daerah.

Oleh karena itu, Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri mengimbau masyarakat agar tidak perlu panik dan khawatir. Menurut Hanif, pemerintah telah menyiapkan skema terintegrasi.

"Kami terus mengontrol tenaga kerja (asing) baik yang legal maupun ilegal. Jumlah tenaga kerja asing hingga November 2016 yang terdaftar hanya 74.183 orang. Sebanyak 21.271 di antara mereka berasal dari Tiongkok. Jumlah tersebut lebih rendah jika dibandingkan dengan jumlah pada 2011."

Hanif menyatakan isu tenaga kerja asing asal Tiongkok sudah dibesar-besarkan segelintir orang dengan tujuan merusak persatuan negara.

"Secara statistik, jumlah tenaga kerja asing tidak banyak bertambah. Mereka sudah bekerja sejak dulu dan tidak dibesar-besarkan sampai sekarang menjelang pemilihan umum. Kalau diperhatikan, semua benang merahnya sama, karena bersinggungan dengan SARA. Isu semacam ini jangan sampai menjadi kompor yang dapat mengganggu perekonomian nasional," ujar Hanif.

Selain itu, Hanif menilai munculnya isu SARA akhir-akhir ini disebabkan faktor ketimpangan dan kemiskinan. Akan tetapi, hal itu bukan faktor penentu tunggal. Dengan demikian, pemikiran ke-agamaan yang toleran menjadi penting untuk menanggulangi isu radikalisme dan SARA yang telah dipolitisasi tersebut.

"Sekaligus juga mendorong peran dan komitmen kelompok moderat yang mayoritas, yang selama ini diam saja," tandas Hanif. (X-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya