Headline
Ketegangan antara bupati dan rakyat jangan berlarut-larut.
Ketegangan antara bupati dan rakyat jangan berlarut-larut.
Kendati kesenjangan yang dicerminkan angka rasio Gini memperlihatkan penurunan 0,40 ke 0,39 pada 2016, level itu masih terbi-lang mengkhawatirkan. Ekonom LIPI Latif Adam mengemukakan, pemerataan pendapatan antara kelompok masyarakat mesti menjadi tulang punggung pembangunan perekonomian. Tanpa pemerataan, capaian angka pertumbuhan ekonomi, sebarapapun fantastisnya, jadi kurang berarti.
Apalagi Indonesia, lanjut dia, terdiri dari kultur multikultur, ras, dan agama. Kondisi itu relatif berbeda dengan negara-negara lain. Maka, bila ketimpangan tidak ditangani serius, amat mungkin membahayakan soliditas Indonesia. Pasalnya, isu tersebut bisa menjadi entry point bagi ras, agama, dan kelompok masyarakat yang merasa termarjinalkan untuk menghelat aksi protes.
Adapun tahun ketiga pemerintahan Presiden Joko Widodo, kata Latif, seharusnya jadi momentum untuk ‘memanen’ hasil dari berbagai kebijakan yang digulirkan pada tahun pertama dan kedua.
“Di tahun pertama dan kedua, Presiden banyak mengeluarkan program yang fokusnya bisa diterjemahkan untuk pemerataan pendapatan, mulai dari membangun Indonesia dari pinggiran, memperkuat daerah perbatasan. Jadi, komitmen ada. Sekarang di tahun ketiga, masyarakat berharap ini menjadi harvesting time dari 2 tahun kebijakan yang telah disemai pemerintah,” bebernya.
Latif menegaskan, penurunan rasio Gini akan berkualitas jika terjadi bukan karena turunnya pendapatan kelompok orang kaya yang terimbas perlambatan perekonomian, melainkan kenaikan pendapatan pada kelompok masyarakat berpenghasilan rendah. “Tiga hal yang harus ditangani sehingga penurunan rasio Gini terakselerasi, mulai dari akses masyarakat yang berbeda, rigiditas pasar tenaga kerja, sampai program-program sosial yang perlu pembenahan,” ujar Latif.
Alamiah
Awal pekan ini, Presiden Joko Widodo menggarisbawahi urgensi pemerintah mempercepat terjadinya pemerataan ke-sejahteraan pada masyarakat. Adapun salah satu indikator ketimpangan yang dicermati regulator adalah penguasaan segelintir orang terhadap mayoritas nilai simpanan di perbankan Tanah Air.
Dari data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), per Oktober 2016, total simpanan mencapai Rp4.728 triliun. Dari jumlah itu, sekitar 56% merupakan simpanan di atas Rp2 miliar per rekening, alias simpanan yang tidak dijamin LPS. Rekening semacam itu jumlahnya ‘hanya’ 228.148, atau 0,12% dari total reke-ning pada perbankan nasional.
“Hal tersebut bisa terjadi secara alamiah. Struktur konsentrasi rekening dengan dana ini memang mencerminkan ketimpangan di Indonesia. Tetapi itu bukan Indonesia saja, di negara mana pun termasuk AS dan Eropa pasti mengalami,” terang Direktur Sistem Risiko Ekonomi dan Perbankan LPS Doddy Ariefianto saat dihubungi, kemarin.
Kondisi tersebut, menurutnya, tidak serta merta mengganggu stabilitas sistem keuangan. Sebab, dana itu tetap milik masyarakat Indonesia. Berbeda halnya, kata Dody, dengan konsentrasi kepemilikan asing di obligasi negara yang nyaris 40%.
“Kami melihat ketimpangan simpanan ini bukan sebagai sesuatu yang gawat. LPS menjamin hingga Rp2 miliar. Jadi, ada 99% nasabah yang dijamin LPS,” terangnya.
Beberapa dari nasabah besar diakuinya mendapat suku bunga simpanan khusus. Namun, ia menilai itu tidak lantas mengganggu proses penurunan suku bunga bank. (Fat/E-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved