Pahitnya Kopi Jadi Rebutan

Tesa Oktiana Surbakti/E-3
02/10/2015 00:00
Pahitnya Kopi Jadi Rebutan
(MI/VIA)
"SESEMPURNA apa pun kopi yang dibuat, kopi tetaplah kopi, punya sisi pahit yang tak mungkin disembunyikan." Demikian kutipan yang begitu sohor dalam novel karangan Dewi Lestari, Filosofi Kopi.

Pahitnya kopi mungkin tak bisa lagi disembunyikan.

Namun, jika berbicara berapa besar pemasukan yang diterima negara dari ekspor kopi, sekejap rasa pahit itu berubah menjadi manis.

Dalam lima tahun terakhir Indonesia terus menyesap manisnya rasa kopi dengan meningkatnya nilai ekspor.

Tercatat pada 2014, nilai ekspor komoditas kopi mencapai US$332,24 juta atau meningkat 9,9% dari 2013 sebesar US$302,12 juta.

"Diproyeksikan, tahun ini bisa mencapai US$400 juta. Insya Allah," celetuk Direktur Industri Minuman dan Tembakau Faiz Achmad saat pencanangan Hari Kopi Internasional di Kementerian Perindustrian, Jakarta, kemarin.

Indonesia boleh berbangga hati. Negara kepulauan ini setidaknya memiliki 10 jenis kopi dengan julukan indikasi geografis.

Dalam artian, kopi itu sudah mendapat pengakuan internasional atas kekhasan kopi dan tidak ditemukan di lokasi lain selain negara asalnya.

Jenis kopi yang sudah melanglang buana ialah arabika gayo, sumatra arabika simalungun, kopi robusta lampung, arabika java preanger, java arabika sindoro, dan arabika kintamani.

Sebagai penghasil kopi terbesar ketiga di dunia setelah Brasil dan Vietnam, Indonesia memproduksi 685 ribu ton di 2014 atau 8,9% produksi kopi dunia.

Komposisinya, 76,7% jenis kopi robusta dan 23,3% jenis arabika.

"Namun perlu dilihat, ada perubahan tren akhir-akhir ini. Kopi kita produksi tidak lagi hanya berfokus pada pasar ekspor, konsumsi dalam negeri pun mulai meningkat."

Bak primadona, komoditas kopi pun menjadi rebutan.

Wakil Ketua Umum III Asosiasi Eksportir dan Industri Kopi Indonesia (AEKI) Theng Hong Sioe, sebagai eksportir yang kerap menyasar pasar Amerika Serikat, mengakui komposisi ekspor dengan konsumsi domestik berubah dalam lima tahun terakhir.

Pada 2010, persentase ekspor kopi berkisar 80%-85%, tetapi pada 2014 menyusut menjadi 60%.

Dari sisi konsumsi di dalam negeri, jumlahnya meningkat 1,1 kg per kapita dari konsumsi sebelumnya sebesar 0,5 kg.

"Karena pertumbuhan kafe sudah pesat di berbagai kota, di desa-desa juga banyak warung-warung kopi sederhana. Enggak heranlah produksi kopi kita banyak terserap ke dalam negeri," ucap Sioe.

Sioe tidak mempersoalkan dimulainya tren 'rebutan pasar', hanya dia menekankan produksi kopi yang diserap dalam negeri sebaiknya berkualitas medium.

Adapun kualitas high standard lebih cocok diarahkan ke pasar ekspor guna meningkatkan hasil devisa.

Menyiasati komoditas kopi yang kian jadi rebutan, Faiz mengaku perlunya upaya peningkatan produksi.

Tidak hanya melalui intensifikasi, tapi juga ekstensifikasi lahan perkebunan yang hingga kini mencapai 1,24 juta hektare.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Admin
Berita Lainnya