SEPERTI telah diprediksi, paket stimulus perekonomian nasional jilid II lebih fokus dan efektif menjadi 'penawar dahaga' di tengah situasi ekonomi yang memanas.
Pasar pun merespons positif paket deregulasi yang diumumkan Selasa (29/9) itu. Apalagi, Bank Indonesia (BI) juga mengeluarkan lanjutan paket kebijakan per 9 September lalu untuk menstabilkan nilai tukar rupiah seiring dengan paket kebijakan II yang dikeluarkan pemerintah.
Pada perdagangan spot kemarin, rupiah ditutup di level 14.653 per dolar AS, menguat 38 poin atau naik 0,26% dari level penutupan Selasa (29/9) yang 14.690 per dolar AS.
Respons tersebut jauh berbeda ketika pasar menanggapi terbitnya Paket September I pada 9 September lalu. Saat itu, rupiah justru melemah 63 poin menjadi 14.307 per dolar AS.
Indeks harga saham gabungan (IHSG) pada perdagangan kemarin juga ditutup menguat 45 poin ke level 4.223,9 setelah dibuka di level 4.189,4 dan sepanjang hari bergerak di level 4.168,2-4.223,9.
Sektor-sektor yang mulai masuk ke zona hijau itu dipimpin sektor keuangan (perbankan) yang menguat 2,15% dan pertambangan yang naik 1,46%. Sebaliknya sektor manufaktur masih di zona merah.
"Secara teknikal memang sudah berhasil melewati batas level terendah sehingga potensi rebound-nya masih cukup besar. Jika selama beberapa bulan ke depan masih bisa tetap bertahan di level 4.200, ini kondisi yang bagus dan bisa saja mencapai level 5.000," ujar analis teknikal PT Asjaya Indosurya Securities, William Surya Wijaya, saat dihubungi, kemarin.
Selain karena sentimen positif dari Paket September II yang baru saja dirilis pemerintah tersebut, menurutnya, faktor lain yang juga menjadi penyebab ialah adanya window dressing yang dilakukan pada kuartal III bulan depan yang mendapat respons cukup positif di pasar.
Penguatan rupiah memang tidak lepas dari peran BI untuk mendi-nginkan pasar. "Di samping melakukan intervensi di pasar spot, BI juga akan melakukan intervensi di pasar forward guna menyeimbangkan penawaran dan permintaan," ujar Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara di Jakarta, kemarin.
Ekonom Bank Permata, Josua Pardede ,melihat efektivitas kebijakan lanjutan tersebut akan bergantung pada sentimen investor. "Kita lihat ya, kebijakan yang dikeluarkan pemerintah dan Bank Indonesia cukup banyak, tapi sentimen globalnya kan terus mendominasi," ungkapnya saat dihubungi Media Indonesia.
Devisa US$1 miliar/bulan Terkait dengan insentif pajak untuk memasukkan devisa, Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI Juda Agung memperkirakan potensi aliran kelebihan devisa ke cadangan devisa bisa mencapai US$1 miliar per bulan.
"Ini kita coba lihat berapa potensinya, mungkin enggak bisa exact, tapi kita hitung paling tidak sebulan US$1 miliar. Totalnya yang masuk US$30 miliar setahun. Saya kira US$12 miliar itu angka konservatif," ujarnya.
Meski kebijakan itu dipandang baik untuk memperkuat rupiah, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Ekspor Indonesia (GPEI) Benny Soetrisno mengatakan tidak semua eksportir lebih memilih menyimpan dana di dalam negeri. Pilihan pengusaha bertransaksi keuangan di luar Indonesia tak lain karena pinjaman atau kredit dari perbankan luar negeri lebih menarik. Selain insentif pajak, pemerintah juga tengah mempertimbangkan pemberian pengampunan pajak (tax amnesty). "Ini juga bagian dari paket ekonomi kemarin," kata Menkum dan HAM Yasonna Laoly. (Ire/Jay/Dro/X-10)