Headline

Dengan bayar biaya konstruksi Rp8 juta/m2, penghuni Rumah Flat Menteng mendapat hak tinggal 60 tahun.

Fokus

Sejumlah negara berhasil capai kesepakatan baru

Ban Kempis Risiko Deregulasi

MI/DERO IQBAL MAHENDRA
30/9/2015 00:00
Ban Kempis Risiko Deregulasi
(ANTARA/AUDY ALWI)
INDUSTRI ban nasional kini dihadapkan kepada persoalan pelik lantaran pemerintah melonggarkan ketentuan impor untuk produk tersebut. Pelonggaran itu sejalan dengan penghapusan Permendag No 45/M-DAG/PER/6/2015 dan pemberlakuan kembali Permendag No 40/M-DAG/PER/12/2011 sebagai bagian dari paket deregulasi kebijakan September I.

"Jangan salah mengerti. Bukan kami membuka lebar pintu impor, tetapi kami ingin lebih teliti dan lebih strategis dalam mengatur impor," tutur Menteri Perdagangan Thomas Lembong dalam jumpa pers di kantornya, Jakarta, kemarin.

"Cara kita mengatur impor ban kemarin mungkin tujuannya baik untuk melindungi industri lokal dengan menghambat importasi ban, tetapi itu merupakan contoh kebijakan yang salah sasaran," lanjutnya.

Menurut Thomas, pemerintah menganggap industri ban nasional kini sudah di level dunia dan menjadi net eksportir. Maka itu, industri ban nasional tidak perlu lagi diproteksi. Deregulasi, kata dia, di saat serupa juga akan memudahkan suplai bagi industri penerbangan dan industri pertambangan.

Bahkan, Thomas mengklaim, pengetatan impor di waktu lalu justru membuat banyak perusahaan ban menangguhkan investasi triliunan rupiah mereka.

Saat dimintai komentarnya, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ban Indonesia (APBI) Azis Pane keberatan dengan deregulasi itu. Ia berpendapat pembatasan impor ban dengan hanya enam pelabuhan dan bandara internasional sebagai pintu masuk harus tetap dipertahankan.

Dengan deregulasi, impor ban bisa masuk lewat semua pelabuhan, pun bandara. Oleh sebab itu, ia khawatir ban impor ilegal akan menyerbu masuk dan menghancurkan industri lokal.

"Bila impor tidak dibatasi, kita akan menghancurkan industri hilir karet. Padahal Industri ban kita memanfaatkan produk asli dari karet alam petani lokal," kecam Azis.

Ia tidak sepaham dengan keyakinan pemerintah atas daya saing produk ban lokal, terutama ketika suku bunga kredit cenderung tinggi seperti saat ini. Belum lagi ada bea tam-bahan--yang disebutnya sekitar US$9.000 per kontainer-- yang harus disetor pengusaha saban mau ekspor.

Azis menjelaskan, saat ini mayoritas produk ban dalam negeri ditujukan bagi pasar ekspor. Sekitar 20%-nya untuk pasar domestik, atau hanya 9 juta unit dari total kebutuhan dalam negeri 15 juta unit.

"Kalau ban impor yang masuk itu bermerek, seperti Michelin, Pirelli, kita tidak masalah. Kita bisa bersaing. Tapi, bagaimana dengan ban asal buat seperti di Tiongkok yang ada 200 pabrik ban? Itu yang masuk nantinya," ujar Azis.

PPN 0%
Masih terkait deregulasi, Presiden Joko Widodo telah meneken Peraturan Pemerintah (PP) No 69/2015. Isinya antara lain membebaskan PPN impor untuk pesawat dan suku cadangnya, alat keselamatan penerbangan, serta peralatan untuk perbaikan dan pemeliharaan.

"Menjadikan PPN impor pesawat udara dan suku cadang 0% bisa membangkitkan industri penerbangan nasional karena memicu efisiensi biaya non-fuel," kata Dirut Garuda Indonesia Arif Wibowo.

Walakin, Sekjen Asosiasi Perusahaan Penerbangan Nasional Indonesia (Indonesia National Air Carrier Association/INACA) Tengku Burhanuddin menilai industri aviasi nasional saat ini lebih membutuhan pembebasan bea impor komponen pesawat ketimbang pembebasan PPN.

Menurutnya, biaya maskapai untuk mengimpor komponen mencapai 25% dari beban operasional. Dengan dolar AS yang sekarang terus menguat, biaya itu kian berat.

Pembebasan bea impor komponen pesawat sudah lama diusulkan INACA. Namun, masih ada keberatan dari Kementerian Perindustrian. Alasannya, komponen pesawat bisa diproduksi dalam negeri. Padahal, kata Tengku, spare part pesawat harus disertifikasi pabrikan luar untuk memenuhi standar keselamatan penerbangan. (Bow/E-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Admin
Berita Lainnya