Dampak Krisis Tiongkok Lebih Besar

MI/IRENE HARTY
20/9/2015 00:00
Dampak Krisis Tiongkok Lebih Besar
(AP/Andy Wong)
EKONOMI dunia, termasuk Indonesia, sedang berusaha bangkit dari keterpurukan. Keputusan bank sentral AS, Federal Reserve (Fed), mempertahankan suku bunga acuan 0%-0,25% tidak membuat keadaan berubah dari krisis.

Kini bagi Indonesia, ancaman justru berasal dari perubahan pola ekonomi Tiongkok pascakeputusan bank sentral Tiongkok, People's Bank of China (PBOC), yang terkesan mendadak mendevaluasi yuan secara agresif sejak 11 Agustus lalu.

"Fed saya kira tidak terlalu banyak punya pengaruh. Yang harus banyak dilihat lagi itu justru pengaruh Tiongkok dan kita belum tahu seperti apa," kata pengamat ekonomi dari Universitas Atmajaya, A Prasetyantoko, dalam dialog Teras Kita di Kampus Magister Manajemen UGM Tebet, Jakarta, kemarin.

Pras memperkirakan pertumbuhan Tiongkok akan melemah ke kisaran 5%-7%. Dalam kondisi demikian, Tiongkok yang memiliki hubungan dagang intensif dengan Indonesia tentu akan banyak memengaruhi. Hal utama yang perlu diwaspadai ialah permintaan Tiongkok yang menurun dan otomatis melemahkan pertumbuhan ekspor dalam negeri.

"Pengusaha perlu konsolidasi kegiatannya supaya enggak terlalu mengandalkan lagi komoditas yang selama ini diekspor ke Tiongkok dan beralih ke produk manufaktur yang bahan bakunya dari dalam negeri," jelas Pras.

Pengusaha Indonesia dan dunia perlu siap menghadapi fase baru bahwa pertumbuhan ekonomi lebih rendah ketimbang sebelumnya. Pemerintah lewat paket kebijakan September I berjangka menengah masih harus mempercepat realisasi.

Pras melihat saat ini solusi jangka pendek masih dipegang Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan, sedangkan sistematika dan pelaksanaan pemerintah masih kurang.

Menteri Perdagangan (Mendag) Thomas Lembong, yang juga hadir dalam diskusi itu, percaya kondisi ekonomi yang sudah melambat sejak tiga tahun lalu hanya siklus. Baginya, hal terpenting menyiapkan daya saing Indonesia lewat kesiapan industri, investasi, dan edukasi.

"Perasaan saya yang paling fundamental kepercayaan dan confidence pelaku industri, investor. Yang bisa menyehatkan investor kebijakan rasional dan efisien," kata dia.

Hindari konflik

Di sisi lain, Ketua Apindo Anton J Supit mengatakan koordinasi internal pemerintah perlu diperbaiki. Regulasi yang disiapkan pemerintah mesti bersinergi satu sama lain, terutama untuk masalah daya saing, dari upah buruh, kepastian hukum, area perdagangan bebas, hingga kepastian pembangunan infrastruktur. "Jadi yang pertama butuh leadership, fokus, dan hindari konflik. Pemerintah kita senang bikin konflik," kata dia.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Mebel dan Kerajinan Indonesia Abdul Sobur mengaku ekonomi yang sedang bergejolak telah memberi dampak signifikan bagi usaha mebel dan kerajinan. Dari 54 pelaku ekspor mebel dan kerajinan, nilai ekspor hanya mencapai US$2,8 miliar pada 2014 dan US$2 miliar pada tahun ini.

"Kita butuh benchmark, mau ke mana arahnya? Kalau kita mau tumbuh 12%-15% setahun, langkah apa yang dilakukan," ucap Sobur.

Ia berharap paket stimulus ekonomi yang diluncurkan pemerintah bisa segera direalisasikan, utamanya untuk memberi kemudahan bagi pengusaha, termasuk akses mendapat kredit murah perbankan. Sebelumnya, Direktur Utama BEI Tito Sulistio mengharapkan Bank Indonesia dapat menurunkan tingkat suku bunga acuan (BI rate) dari posisi saat ini yang berada di level 7,5% agar pasar modal bergerak positif.

"Saya sih ingin BI rate turun supaya pasar modal bagus dan investasi bagus. Karena apa? Inflasi 4% dan BI rate 7,5%, 'spread'-nya jauh. Kalau bisa, 'spread'-nya 2% saja," kata dia. (Ant/X-10)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Admin
Berita Lainnya