Headline

DPR klaim proses penjaringan calon tunggal hakim MK usulan dewan dilakukan transparan.

Budaya Hunian Vertikal Perlu Dibangun

Iqbal Musyaffa
30/9/2016 04:10
Budaya Hunian Vertikal Perlu Dibangun
(Antara Foto)

TREN masyarakat tinggal di hunian vertikal terus meningkat dalam lima tahun belakangan. Hal tersebut terjadi karena kebutuhan rumah tinggal masih sangat tinggi dengan tingkat backlog 13 juta. Pembangunan hunian vertikal, baik apartemen maupun rumah susun menjadi salah satu solusi untuk merumahkan masyarakat di tengah keterbatasan lahan.

Namun, yang menjadi kendala ialah masyarakat Indonesia belum terbiasa untuk tinggal di hunian vertikal. Wakil Direktur Utama Agung Podomoro Land Indra Wijaya Antono mengatakan dalam lima tahun terakhir tren masyarakat tinggal di hunian vertikal semakin meningkat karena apartemen ataupun rumah susun sudah menjadi sebuah kebutuhan, bukan lagi menjadi suatu barang mewah.

“Terutama di Jabodetabek yang masyarakatnya memiliki mobilitas tinggi. Tingkat okupansi apartemen pun di Jakarta, misalnya berada di kisaran 70%-80% untuk seluruh segmen apartemen yang ada,” ujarnya kepada Media Indonesia, Rabu (28/9).

Tren pembangunan permukim­an berbentuk vertikal ke depannya pun akan terus berlanjut karena ketersediaan lahan yang semakin terbatas, khususnya di kota-kota besar, ujarnya. Namun, peningkatan tersebut masih terjadi di kelompok masyarakat menengah ke atas, sementara untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), khususnya untuk masyarakat yang terkena dampak penggusuran untuk penataan kota masih banyak yang enggan untuk direlokasi ke hunian vertikal yang disiapkan pemerintah berupa rumah susun.

Direktur Housing Urban Develop­ment Zulfi Syarif Koto mengatakan pemerintah harus gencar melakukan sosialisasi dan pendampingan kepada masyarakat yang sudah tinggal di rumah susun.

“MBR kalau direlokasi dari tempat awal ke hunian vertikal maka perlu disiapkan fasilitas, seperti angkutan umum untuk ke tempat mereka bekerja sehingga tidak merasa dikucilkan. Jadikan mereka betah dipindahkan karena aksesnya mudah dari dan ke tempat kerja.”

Zulfi mengimbau agar pemerintah melibatkan ahli antropologi dan sosiologi perkotaan ketika merelokasi MBR ke rumah susun. “Memang butuh waktu tidak bisa langsung. Untuk masyarakat menengah ke atas sudah tidak masalah lagi tinggal di hunian vertikal. Kalau masyarakat menengah ke bawah kan butuh pendampingan. Relokasi harus dilakukan dengan hati dan secara manusiawi.”

Perlu sosialisasi menerus
Sebaiknya, rumah susun yang dibangun pemerintah untuk merelokasi masyarakat dari hunian sebelumnya yang dinilai kurang layak sebaiknya berlokasi di area pasar-pasar besar, seperti pasar induk ataupun dekat stasiun kereta api dan terminal bus. Sekjen DPP Realestat Indonesia (REI) Hari Raharta Sudradjat sepakat bahwa memang perlu sosialisasi yang lebih baik dan intensif.

“Sebagai pengembang swasta, tanpa disuruh pun kami melakukan sosialisasi karena memang lahan semakin terbatas dan mahal.”

Menurutnya, pemerintah juga harus melakukan sosialisasi, khususnya untuk kota berpenduduk lebih dari 2 juta jiwa yang sudah seharusnya dibangun hunian vertikal. Sosialisasi yang dilakukan harus mendasar sehingga dapat dipahami masyarakat. Perlu juga disampaikan bahwa tinggal di hunian vertikal akan menjadi lebih efisien daripada tinggal di rumah tapak.

“Dulu di Singapura juga ketika mulai beralih ke hunian vertikal, mereka lakukan sosialisasi. Dibuat iklan tentang pentingnya tinggal di rusun untuk mengubah budaya masyarakat. Itu tidak bisa instan. Di Tiongkok, pemerintah memberikan keringanan biaya listrik, air, IMB, dan keringanan lainnya bagi masyarakat yang mau pindah ke rumah susun.” (S-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Dedy P
Berita Lainnya