Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Untung Rugi Pagu Kredit Tinggi

MI/ Dinny Mutiah
07/8/2015 00:00
Untung Rugi Pagu Kredit Tinggi
(THINKSTOCK)
BERAWAL dari tawaran yang menggiurkan, Diah Indrawati, 50, akhirnya terjebak pusaran utang. Cerita diawali pada 2005 lalu. Saat itu, ia baru saja mengajukan aplikasi kepemilikan kartu kredit. Ia lantas menggunakan fasilitas tersebut untuk berbelanja secara rutin. Padahal, ia berencana menggunakan kartu tersebut hanya pada saat darurat.

"Saya sebenarnya belum paham sama sekali mengenai kartu kredit. Yang saya tahu hanya bisa digunakan sewaktu-waktu saat diperlukan," ujar Diah kepada Media Indonesia di Bekasi, beberapa waktu lalu. Belakangan, pegawai negeri sipil (PNS) di sebuah instansi itu mulai ketagihan dengan kemudahan semu yang disediakan kartu kredit.

Dengan pagu kredit yang cukup tinggi, ia merasa memiliki stok uang tunai di dompet. Namun, perasaan tersebut tidak berlangsung lama saat surat tagihan datang. "Pada saat kita gunakan, tidak terasa telah berutang. Namun, ketika sudah ada tagihan, kita baru merasakan punya banyak utang," sahutnya.

Saat itu, ia hanya sanggup membayar tagihan minimal. Sisa tagihan yang ada menjadi membengkak karena beban bunga. Konsentrasinya kemudian tersita hanya untuk melunasi utang yang datang. Situasi itu pun terjadi selama bertahun-tahun. Hal itu mendorongnya mengambil jalan pintas dengan mengajukan aplikasi pemilikan kartu kredit pada bank berbeda.

Ia bahkan memegang tiga kartu kredit berbeda dalam satu waktu. Apalagi, bank menawarkan peningkatan pagu kredit hingga Rp9 juta dari awalnya hanya Rp2 juta. "Namun, kartu kredit akhirnya hanya digunakan untuk membayar utang pada salah satu kartu. Seperti gali lubang, tutup lubang," keluhnya.

Diah mengaku menerima tawaran penaikan jumlah plafon (pagu) kredit itu karena dianggap bisa memenuhi kebutuhannya. Pihak bank memberinya kemudahan karena menganggap Dian sebagai nasabah lama. Belakangan, ia menganggap penaikan plafon kredit sebagai bagian bujuk rayu bank agar dia tetap setia menggunakan kartu tersebut.

"Namun, saya tidak berani memiliki plafon kredit yang terlalu banyak karena takut tak bisa membayar," cetusnya. Ibu dua anak itu juga sempat terkena masalah dengan pagu kredit yang dimiliki. Ia sering dianggap melewati limit sehingga kartu yang digunakannya saat itu langsung diblok dan dikenai bunga tambahan.

Ia beralasan hal itu terjadi karena perbedaan cara penghitungan antara dia dan pihak bank. "Karena bulan lalu sudah bayar separuhnya, perhitungan saya masih ada plafon setengahnya. Ternyata, bank memasukkan tagihan bunga dan administrasi lainnya ke dalam perhitungan. Perhitungan ini di luar perhitungan saya," jelasnya.

Dengan masalah keuangan yang bertubi-tubi itu, Diah memutuskan untuk menutup seluruh akun kartu kreditnya. Ia beranggapan hal itu sebagai solusi terbaik untuk menstabilkan kembali kondisi keuangan rumah tangganya. "Jelas keuangan keluarga sangat terganggu. Uang yang biasa untuk ditabung terpaksa digunakan untuk membayar tagihan kartu kredit," keluhnya.

Pembatasan pagu
Sejak Oktober 2014 lalu, Bank Indonesia telah memperketat aturan kepemilikan kartu kredit, termasuk jumlah pagu kredit yang boleh dimiliki pemegang kartu. Dalam Surat Edaran Bank Indonesia (BI) Nomor 14/17/DASP, batas minimum pendapatan calon pemegang kartu kredit ialah Rp3 juta per bulan.

Kepada mereka, batas maksimum pagu yang dapat diberikan kepada pemegang kartu kredit secara kumulatif ialah sebesar tiga kali pendapatan tiap bulan. Surat tersebut juga menyebutkan bahwa batas maksimum jumlah kartu yang dapat dimiliki pemilik pendapatan di bawah Rp10 juta per bulan ialah dua.

Selanjutnya, persentase minimum pembayaran oleh pemegang kartu kredit ialah sebesar 10% dari total tagihan. Sayang, pihak BI tidak menanggapi soal pengawasan aturan itu ketika berusaha dihubungi kemarin. Saat menanggapi hal itu, general manager Asosiasi Kartu Kredit Indonesia (AKKI) Steve Martha menyatakan dukungannya karena hal itu dianggap membantu bank terhindar dari masalah kredit macet.

Untuk itu, bank semestinya mematuhi aturan tersebut. Jika tidak, pihak penerbit kartu kredit akan menghadapi sanksi. Di sisi lain, ia menyatakan tidak mudah mengimplementasi aturan tersebut. Ia menyebutkan bahwa kendala utama terletak pada minimnya informasi mengenai pendapatan pemilik kartu dan jumlah kartu kredit yang dimiliki konsumen.

Meski pihak bank berupaya memperbarui data dengan menyodorkan lembar pertanyaan, tidak seluruh konsumen menanggapinya. "Pemegang kartu atau masyarakat akan melihat dulu apa gunanya di-update. Bukan hanya soal update income, melainkan juga apabila pemegang kartu memiliki kartu lain, mereka tidak melaporkannya," terang Steve.

Tanggung jawab besar
Steve mengingatkan bahwa penawaran penaikan pagu kredit tidak perlu selalu disetujui. Jika dinilai diperlukan dan mampu mengontrol diri saat menggunakan kartu kredit, Anda bisa menyambut penawaran tersebut. Jika tidak, Anda sebaiknya menolak. Pasalnya, besarnya pagu kredit itu disertai dengan besarnya tanggung jawab yang dimiliki.

"Kalau plafon kreditnya naik, berarti konsumen harus menjaga kartunya lebih aman lagi karena kalau kartu hilang dan kemudian disalahgunakaN pihak lain, si pemilik kartu tetap yang menanggung kewajibannya," terangnya. Risiko lain ialah intaian penipuan para hacker. Beberapa kasus terjadi pada sejumlah pemilik kartu kredit dengan limit kredit tinggi.

Terkait hal itu, Steve menyatakan bahwa pemilik kartu bisa terbebas dari tagihan bila bisa membuktikan bukan dirinya yang menggunakan kredit tersebut. "Itu tinggal pembuktian dengan bank kalau bukan dia yang menggunakan atau membuat transaksi itu," pungkasnya. 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Admin
Berita Lainnya