Headline

. AS kembali memundurkan waktu pemberlakuan tarif resiprokal menjadi 1 Agustus.

Fokus

Penurunan permukaan tanah di Jakarta terus menjadi ancaman serius.

Cari Solusi Tepat Lakukan Transisi Energi

M. Ilham Ramadhan Avisena
14/7/2022 13:49
Cari Solusi Tepat Lakukan Transisi Energi
Ilustrasi: Energi terbarukan hybrid, PLTS dan kincir angin.(ANTARA FOTO/Idhad Zakaria )

Sebagai bagian dari Nationally Determined Contriubution (NDC) pada COP21 di Paris, India berkomitmen untuk menambah kapasitas listrik hingga 40% dari sumber energi non fosil di 2030. Namun, target itu justru mampu dicapai lebih cepat 9 tahun, yakni pada November 2021.

Menteri Keuangan India Nirmala Sitharaman mengungkapkan, pencapaian itu bahkan sepenuhnya berasal dari fiskal negara, alih-alih mendapatkan bantuan dari internasional.

"Tidak ada dana multilateral yang datang dalam US$100 miliar yang dijanjikan dan dijanjikan sejak 2009 untuk aksi iklim, belum datang sama sekali," ungkapnya dalam Side Event Finance Minister and Central Bank Governor (FMCBG) G20 ke-3 bertajuk Sustainable Finance for Climate Transition, Kamis (14/7).

Kapasitas energi baru terbarukan (EBT) yang terpasang di India mencapai 150,54 GW pada 30 November 2021 dan kapasitas listrik berbasis nuklir telah mencapai 6,78 GW. Dengan demikian, total kapasitas energi terpasang non fosil menjadi 157,32 GW atau 40,1% dari total kapasitas listrik terpasang 392,01 GW.

Nirmala menyampaikan, hal itu bukan merupakan pekerjaan mudah. Sebab, perlu komitmen yang kuat dan menimbang berbagai kebijakan yang dapat mempengaruhi kepentingan banyak masyarakat.

Kebijakan krusial yang diambil oleh negara yang dijuluki sebagai Anak Benua itu ialah memungut pajak secara intensif pada sektor energi fosil. Pemberian subsidi juga dilakukan secara ketat, utamanya di sektor rumah tangga agar pencapaian pemanfaatan EBT terwujud.

Perjalanan untuk mencapai target NDC itu diakui tidak mudah. Karenanya, Nirmala mendorong dunia memahami kebutuhan energi di negara berkembang cukup besar, termasuk dari sisi pendanaannya.

Itu terjadi karena negara-negara berkembang merupakan mesin pertumbuhan ekonomi dunia. "Dukungan dari dunia tidak hanya akan membuat pemerintah (negara berkembang) bergerak lebih cepat beralih ke EBT, tapi juga memompa perekonomian dunia," kata Nirmala.

Hal tersebut ia sampaikan agar dalam forum G20 berbagai negara dapat memahami dan betul-betul berkomitmen melakukan transisi energi. Pembagian informasi mengenai pencapaian India dinilai mampu memberi perspektif mengenai pentingnya transisi energi, termasuk terkait pendanaannya.

Di kesempatan yang sama, perwakilan dari Sekretaris Perbendaharaan untuk Urusan Internasional Amerika Serikat Andy Baukol mengamini mengenai pentingnya kerja sama global untuk menghadapi perubahan iklim dan melakukan transisi energi.

Di AS sendiri, imbuhnya, kebutuhan pendanaan untuk mencapai energi bersih pad 2050 diperkirakan mencapai US$130 triliun. Itu berarti setiap tahunnya dibutuhkan pembiayaan sekitar US$4 triliun agar terwujud pemanfaatan energi bersih secara penuh. "Jelas, jumlah tersebut tidak dapat disediakan secara eksklusif oleh pemerintah, kita perlu memobilisasi investasi sektor swasta. Kami di AS juga menghadapi tantangan serupa," kata Andy.

Dia menerangkan, mobilisasi sektor swasta untuk mencapai target NDC tiap negara merupakan hal krusial. Pembiayaan yang berasal dari sektor privat itu dapat mendorong percepatan dan meringankan beban fiskal negara.

Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan, Indonesia telah menyusun Energy Transition Mechanism (ETM/mekanisme transisi energi) agar muncul benefit berkelanjutan dari upaya pemanfaatan energi bersih. Ini bertujuan agar transisi energi tidak memberi dampak negatif bagi perekonomian.

Melalui EMT, Indonesia bisa menggunakan pembiayaan campuran (blended finance) guna mendukung peralihan energi. "Ini yang kami sebut sebagai blended finance, memadukan komitmen dan tekad untuk dapat menghasilkan tingkat dana platform yang dapat membiayai transisi dengan cara yang adil dan terjangkau secara berkelanjutan. Ini adalah platform untuk kolaborasi," terang Sri Mulyani.

Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu menambahkan, komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi juga bakal terwujud melalui pelaksanaan perdagangan dan pemajakan karbon tahun ini.

Target awal dari pemajakan karbon ialah PLTU batu bara di Tanah Air. Direncanakan subjek pajak karbon akan diperluas pada 2025 menyasar sektor yang krusial kaitannya dengan emisi karbon.

Sri Mulyani, yang karib disapa Ani itu menuturkan, pemajakan karbon dilakukan untuk mendorong perubahan perilaku dan mendukung pengurangan emisi. Di lain sisi, kebijakan itu diharapkan mampu mendorong inovasi sekaligus investasi. "Tentu dengan tetap memperhatikan prinsip keadilan, keterjangkauan, dan pelaksanaan yang bertahap dan terukur," kata dia. (OL-12)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Retno Hemawati
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik