Headline
Mantan finalis Idola Cilik dan kreator konten juga memilih menikah di KUA.
Mantan finalis Idola Cilik dan kreator konten juga memilih menikah di KUA.
Ketegangan antara Thailand dan Kamboja meningkat drastis sejak insiden perbatasan
LEMBAGA Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia memperkirakan ekonomi Indonesia pada triwulan IV 2021 tumbuh 5,1%. Dari prediksi tersebut, diproyeksikan pertumbuhan ekonomi sepanjang 2021 akan berada di angka 3,7%.
"Dengan perkembangan terbaru saat ini, kita mengestimasikan triwulan IV 2021 tumbuh 5,1% yang akan membuat pertumbuhan ekonomi keseluruhan 2021 berada di 3,7%," kata Ekonom Makroekonomi dan Pasar Keuangan LPEM UI Teuku Riefky dalam diskusi daring, Jumat (4/1).
Baca juga: Ada Tol Binjai-Stabat, Jokowi Sebut Harga Komoditas Lokal tak Kalah dengan Impor
Pertumbuhan triwulan IV dan keseluruhan 2021 tersebut juga diperkirakan akan mendorong ekonomi Indonesia selama 2022 untuk tumbuh di kisaran 4,9% hingga 5,1%. Itu berarti, kata Riefky, pemulihan yang akan terjadi di 2022 membawa ekonomi Indonesia ke level pertumbuhan sebelum pandemi covid-19 merebak.
Namun laju pertumbuhan ekonomi tersebut dinilai akan menghadapi sejumlah tantangan. Peningkatan inflasi di sejumlah negara akibat derasnya stimulus yang diberikan selama pandemi dianggap menjadi salah satu tantangan bagi Indonesia.
Akibatnya, sejumlah bank sentral di beberapa negara mulai mengetatkan stimulusnya untuk mengendalikan inflasi. Hal itu dinilai akan berdampak pada Indonesia, tak semata di sektor riil, tapi juga pasar keuangan.
Dampak yang akan dirasakan oleh sektor riil Indonesia sejatinya dapat terlihat dari kinerja perdagangan selama 2021. Neraca dagang Indonesia mencatatkan surplus hingga akhir tahun didorong oleh kenaikan harga sejumlah komoditas unggulan.
Sedangkan dari sisi pasar keuangan, kenaikan suku bunga acuan di sejumlah negara, utamanya Amerika Serikat dapat berimplikasi pada derasnya aliran modal keluar (capital outflow) dari negara berkembang. Hal itu dinilai dapat memicu mata uang negara berkembang mengalami depresiasi.
Kendati demikian, Indonesia dinilai tak akan merasakan dampak yang signifikan dari sisi pasar keuangan. Sebab, kata Riefky, fundamen ekonomi nasional saat ini cenderung kokoh dan stabil. Belum lagi respons kebijakan pemerintah dan otoritas moneter yang adaptif dianggap mampu menahan dampak negatif dari faktor eksternal.
"Performa yang baik dari neraca dagang itu bisa menjaga nilai rukar rupiah relatif stabil, di samping itu kepemilikan aset (Surat Berharga Negara/SBN) oleh asing menurun," terang Riefky.
Di kesempatan yang sama, Peneliti Makroekonomi dan Pasar Keuangan LPEM UI Nauli Desdiani mengatakan, celah kesenjangan sisi penawaran dan permintaan bukan satu-satunya penyebab naiknya inflasi di sejumlah negara. Setidaknya, fenomena kekosongan tenaga kerja, naiknya harga bahan baku, hingga melonjaknya komoditas energi turut mendorong peningkatan inflasi.
Kekosongan tenaga kerja, seperti yang terjadi di Amerika Serikat terjadi akibat derasnya stimulus yang diberikan oleh bank sentralnya. Itu menyebabkan masyarakat di Negeri Paman Sam enggan untuk kembali bekerja, atau mendorong kenaikan upah.
Lalu kenaikan harga bahan baku mengakibatkan proses produksi di sejumlah industri menjadi terhambat karena naiknya biaya yang dibutuhkan. Demikian pula harga energi yang melejit beberapa waktu terakhir mendorong pembatasan produksi dan tak bisa menyanggupi permintaan yang ada.
Namun, kata Nauli, peluang Indonesia untuk mengalami lonjakan inflasi dinilai minim. Dia mengatakan, bila pemerintah dapat mengendalikan pandemi dan mendorong pemulihan ekonomi, inflasi akan terjaga seperti yang diproyeksikan oleh Bank Indonesia.
"Tekanan inflasi tahun ini akan berada di kisaran target BI. Puncak inflasi itu diperkirakan akan terjadi di tengah hingga akhir tahun. Ini dikarenakan adanya perbaikan permintaan agregat," jelasnya. (OL-6)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved