Headline

Dengan bayar biaya konstruksi Rp8 juta/m2, penghuni Rumah Flat Menteng mendapat hak tinggal 60 tahun.

Fokus

Sejumlah negara berhasil capai kesepakatan baru

RPP belum Sinkron dengan UU Cipta Kerja

Heryadi
26/12/2020 04:45
RPP belum Sinkron dengan UU Cipta Kerja
Franky Sibarani, Ketua Tim Serap Aspirasi (TSA).(ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf)

KETUA Tim Serap Aspirasi (TSA) Franky Sibarani meminta aturan pendaftaran usaha bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dalam UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja dipermudah, baik yang dilakukan secara daring maupun luring.

Dalam pertemuan terbatas dengan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, Franky menyinggung temuan sementara adanya ketidaksesuaian beberapa poin dalam Rancangan Peraturan Pemerintah yang sedang dibuat dengan UU Cipta Kerja.

Salah satunya, kata Franky, yakni Pasal 91 UU Cipta Kerja yang mengamanatkan pendaftaran usaha kecil dan mikro dapat dilakukan secara daring atau luring. Sementara itu, dalam Pasal 23 Rancangan PP menyebut pendaftaran hanya dilakukan secara elektronik. “Hal ini akan menyulitkan pelaku usaha kecil dan mikro yang tidak memiliki akses internet,” kata Franky.

Tak cuma itu, sambungnya, timnya juga menemukan sejumlah ketidaksesuaian antara poin-poin di Rancangan PP dan UU Cipta Kerja. Misalnya, Pasal 87 UU Cipta Kerja yang mengamanatkan pemerintah pusat dan daerah menyediakan pembiayaan bagi usaha mikro dan kecil, sementara di Pasal 55 Rancangan PP dituliskan pemerintah pusat dan daerah memberikan kemudahan dalam pembiayaan.

Selanjutnya, Pasal 92 UU Cipta Kerja yang mengamanatkan pemberian insentif untuk usaha mikro dan kecil, sedangkan dalam Pasal 77 Rancangan PP dituliskan insentif diberikan untuk usaha mikro. “Ketidaksesuaian ketentuan dalam Rancangan PP dengan UU Cipta Kerja ini harus menjadi perhatian bersama,” kata Franky.

Tim Serap Aspirasi UU Cipta Kerja dibentuk berdasarkan Keputusan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian No 332/2020 pada 25 November 2020. Tim ditugaskan untuk menyerap sebanyak-banyaknya aspirasi masyarakat untuk menjadi masukan dalam penyusunan Rancangan PP yang menjadi turunan dari UU tersebut.

Peraturan turunan dari UU Cipta Kerja diamanatkan Pasal 185 untuk dapat selesai dalam waktu tiga bulan sejak diundangkannya UU tersebut pada 2 Novem­ber 2020.

Aturan pesangon

Di kesempatan terpisah, akademisi UIN Walisongo Semarang M Harun menilai aturan pesangon dalam UU Cipta Kerja menguntungkan pekerja ataupun pengusaha.

“Perbandingan UU Ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja tentang uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja ternyata tidak ada kelompok yang dirugikan atau sama-sama diuntungkan,” kata M Harun dalam keterangan tertulisnya, kemarin.

Menurut dia, hal yang membedakan ketentuan pesangon dalam UU Cipta Kerja dengan UU Ketenagakerjaan salah satunya ialah perubahan atas Pasal 185.

Jika dalam UU sebelumnya tidak diatur sanksi pidana bagi pelanggar pembayaran pesangon, UU Cipta Kerja menambahkan pelanggar ketentuan pesangon (156 ayat 2).

Dengan demikian, pelanggar Pasal 156 ayat 2 yang mengatur besaran uang pesangon terancam sanksi pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama empat tahun dan/atau denda paling sedikit Rp100 juta dan paling banyak Rp400 juta. (Ant/E-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya