Headline

Mantan finalis Idola Cilik dan kreator konten juga memilih menikah di KUA.

Fokus

Ketegangan antara Thailand dan Kamboja meningkat drastis sejak insiden perbatasan

Kolaborasi Perbankan-Fintech Lending, Akselerasi Gerak Industri

Dero Iqbal Mahendra
17/1/2020 22:49
Kolaborasi Perbankan-Fintech Lending, Akselerasi Gerak Industri
Tantangan dunia fintech(Ilustrasi)

PESATNYA perkembangan industri financial technologi (Fintech) menjadikan sektor ini sebagai primadona baru layanan keuangan di Indonesia, khususnya untuk fintech peer to peer landing (P2P) atau perusahaan penyedia pinjam meminjam dana secara daring.

Meski awalnya ada anggapan fintech akan mendistrupsi sektor perbankan, tetapi nyatanya dalam perkembangan hari ini yang terjadi justru sebaliknya dengan perbankan berbondong-bondong melakukan penyaluran dana pinjaman melalui perusahaan fintech P2P.

Di sisi lain, fintech P2P pun merasakan manfaat dari kerja sama tersebut. Bahkan menurut Chief of Sales Investree, Salman Baharuddin kolaborasi perbankan tersebut mengakselerasi gerak penyaluran kredit fintech P2P.

"Jelas dengan adanya dana dari perbankan dan institusi keuangan lainnya itu sangat mendorong dan membantu akselerasi dan penyaluran loan yang kami fasilitasi," terang Salman kepada Media Indonesia, Minggu (12/1)

Ia juga menilai kolaborasi antara perbankan dan fintech P2P sangat positif. Bahkan menurutnya kedua institusi tersebut harus berkolaborasi karena masing-masing memiliki keunggulan dan peran berbeda untuk menunjang satu dengan lainnya.

Salman mencontohkan fintech lending yang merupakan platform pasar online dalam memfasilitasi pinjaman tetap tidak memiliki kemampuan dalam melakukan pembayaran maupun penghimpunan dana. Sehingga jelas membutuhkan perbankan sebagai mitra yang solid untuk menunjang kegiatan operasionalnya.

Salman pun mengungkapkan selama ini Investree dengan senang hati bekerja sama dengan perbankan yang ingin menyalurkan pinjaman dan melihat fintech sebagai alternatif dalam menyalurkan kredit disamping mitra penyalur yang selama ini sudah ada seperti multifinance dan lainnya.

Dengan adanya fintech P2P seperti Investree, perbankan memiliki alternatif lain untuk menyalurkan kredit dengan tingkat imbal hasil yang berbeda, model bisnis berbeda serta pendekatan ekosistem yang berbeda.

Salman pun tidak menampik bahwa perbankan dan instritusi keuangan lainnya sebagai penyedia pinjaman, dapat dikatakan juga sebagai super lender. Namun, bukan berarti dengan adanya super lender in ifintech P2P menegasikan para penyedia dana ritel yang menjadi dasar dari filosofi P2P.

"Kami melihat semuanya sebagai sesuatu yang saling mengisi. Ritel lender tetap ada dan merupakan bagian penting dari data base nasabah kami dan tetap terbuka bagi semua orang. Kami memiliki ritel base terdaftar yang cukup tinggi, diatas 80 ribu individu, tetapi selain itu memang ada bank, lembaga keuangan multi finance masuk dan itu juga kami membuka diri. Karena mereka merupakan salah satu bagian dari ekosistem," tutur Salman.

Salman menjelaskan penyedia dana institusi seperti perbankan memiliki keunggulan dalam pendanaan karena mampu memberikan dana pinjaman dalam jumlah sangat besar, menjadi sumber pendanaan yang lebih berkesinambungan serta lebih pasti ketersediaan dananya. Keunggulan tersebut menjadi dasar dalam kerja sama antara penyedia P2P lending dengan pihak perbankan.

Meski begitu, dalam memberikan pembiayaan kepada para peminjam, Investree tetap memadukan pemberian pinjaman dengan menggunakan dana dari penyedia dana ritel dan penyedia dana institusi. Misalnya ada peminjam yang memerlukan dana pinjaman hingga Rp 300 miliar, dibutuhkan kombinasi sumber dana yang berasal dari penyedia dana ritel dan institusi.

Sejauh ini Investree menurut Salman telah menerima pendanaan yang berasal dari perbankan yang mencapai Rp 600 miliar. Jumlah tersebut pun diharapkan akan dapat terus bertambah kedepannya.

Senada dengan itu Chief Risk and Sustainability Officer Amartha Aria Widyanto menilai kerja sama antara perbankan dan fintech P2P saling menguntungkan karena memanfaatkan keunggulan masing-masing sekaligus mendorong inklusi keuangan.

Dalam skema kerja sama antara perbankan fintech P2P dalam penyaluran pendanaan perbankan, Aria menjelaskan kedua belah pihak sebelumnya sepakat menentukan kriteria calon debiturnya 'atau risk acceptance criteria bagi calon debitur yang akan didanai. Dengan begitu dapat ditentukan selera risiko dari mitra perbankan tersebut.

Selainitu Aria juga menyebutkan bank berhak menolak calon debitur yang telah bersama-sama disaring tersebut, misalnya karena masuk dalam daftar hitam internal perbankan atau pernah mengalami kolektibilitas buruk dari hasil pengecekan Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK).

Amartha yang saat ini telah bekerja sama dengan lima bank nasional yang telah menggelontorkan dana hingga Rp 400 miliar paada 2019 menyadari adanya ketertarikan dari sektor perbankan kepada fintech sebagai penyalur kredit.

"Setiap bank tentu memiliki strategi masing-masing untuk meningkatkan pendapatan, termasuk melalui kerja sama dengan fintech. Saya rasa hal tersebut baik karena bisa mendorong kerja sama di ekosistem digital, meningkatkan jangkauan layanan ke segmen yang selama ini belum terjangkau oleh jaringan bank yang pada akhirnya membantu mendorong inklusi keuangan dan pemerataan layanan keuangan bagi masyarakat," jelas Aria.

Di sisi lain, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sejauh ini menilai kolaborasi antara fintech dan perbankan memberikan dampak positif dan mendorong inklusi keuangan bagi masyarakat yang belum tersentuh oleh perbankan(unbankeble).

Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Hendrikus Passagi yang menyebut kerja sama tersebut akan membentuk sinergi yang kuat dan memberi manfaat bagi pelaku Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM).

Kolaborasi tersebut dapat berbentuk referal atau rekomendasi calon lender yang berkualitas kepada perbankan karena adanya batas maksimal pinjaman Rp2 Miliarbagi fintech lending. Sebaliknya, permohonan pinjaman ritel dalam jumlah yang sangat kecil di perbankan dapat direkomendasikan ke fintech lending.

Kolaborasi lainnya misalnya perbankan dapat memanfaatkan platform sistem elektronik fintech lending dalam rangka mempercepat evaluasi dan asesmen risiko kredit. Sedangkan fintech lending dapat menggunakan jasa penagihan melalui kantor-kantor cabang perbankan di berbagai wilayah.

Perluasan Pasar dan Alternatif Pendapatan

Ekonom Josua Pardede menilai sektor perbankan mulai menyadari adanya pasar yang dapat diambil dari fintech, khususnya pasar pinjaman mikro.

"Per November 2019, total pinjaman dari fintech mencapai Rp 12,18 triliun, atau tumbuh 141,44% dibandingkan dengan November tahun lalu. Sementara itu, jumlah transaksi meningkat 518,33% dari periode sama pada tahun lalu. Dengan tingginya pertumbuhan serta adanya kesempatan untuk masuk ke pasar pinjaman mikro, bank punya insentif untuk berkolaborasi atau pun berinvestasi dengan fintech," jelas Josua.

CEO Mandiri Capital Indonesia (MCI) Eddi Danusaputro pun membenarkan, hal tersebut merupakan salah satu alasan dilakukannya kerja sama dengan fintech lending. Perbankan memiliki keterbatasan untuk masuk hingga kepelosok desa karena membutuhkan biaya yang tidak sedikit.

"Kami juga ingin mencari pasar baru, bank kan sebetulnya sudah punya jalur distribusi dan cara mendapatkan peminjam, tetapi fintech kan juga punya cara lain yang berbeda untuk mencari peminjamnya, sehingga kami ingin berkolaborasi untukmencari pasar baru," terang Eddi.

Selain perluasan pasar baru yang dimiliki fintech dengan profil peminjam yang berbeda dengan perbankan, Eddi juga tidak memungkiri adanya potensi dari ceruk pendapatan bagi perbankan. Hal lainnya yang juga menarik menurut Eddi adalah penggunaan teknologi dan inovasi baru seperti kredit scoring yang berbeda dengan perbankan.

"Kolaborasi akan dapat berjalan terus, memang ada yang mengatakan fintech itu akan mendistrupsi perbankan, saya merasa bahwa distrupsi itu dalam hal yang positif dan caranya adalah dengan kolaborasi dan bukan kompetisi. Jadi menurut saya kedepannya kolaborasi akan berjalan terus, bukan hanya di P2P lending tetapi juga di sisi lainnya termasuk digital identity payment dan lainnya," ujar Eddi.

Senada dengan itu Plt Direktur Utama BRI Agro Ebeneser Girsang juga menilai koloborasi perbankan dan fintech menjadi alternatif untuk meningkatkan pelayanan perbankan kepada masyarakat. Kemudahan maupun efesiensi yang terjadi merupakan nilai tambah bagi pelaku masyarakat, perbankan maupun fintech.

Ia optimis bahwa kerja sama dengan fintech lending akan memberikan kontribusi bagi para pelaku UMKM terutama untuk terus menghadirkan kecepatan dan kemudahan untuk mengakses pinjaman serta memperkuat ekosistem ekonomi digital yang sudah ada.

Manajemen Risiko

Salah satu isu yang perlu menjadi perhatian dalam penyaluran kredit kepada fintech P2P lending dari perbankan adalah terkait manajemen risikonya. Mengingat terdapat dua perbedaan paradigma dalam pengelolaan dana dan manajemen risiko pembiayaan kedua institusi.

Dari sisi perbankan, Eddi Danusaputro menyadari adanya peluang risiko tersebut. Untuk itu perbankan awalnya harus mengetahui apa saja risikonya, selain itu juga dapat melalui penyaluran kredit secara bertahap untuk meminimalkan risiko.

Menurutnya dana yang disalurkan ke fintech saat ini masih relatif kecil selain itu, perbankan juga ikut terlibat dalam proses penyaluran kredit ke nasabah fintech.

"Umumnya kami tidak 100% menyerahkan sepenuhnya kepada startup untuk menentukan penyaluran pinjaman. Akan tetapi, kami ikut terlibat dalam prosesnya. Misalnya bila ada klasifikasi tingkat kelayakan calon peminjam A-D, kami bisa menentukan kami hanya ingin membiayai yang peringkat kreditnya A atau B. Jadi kami bisa memakai rambu-rambu tertentu untuk mengurangi tingkat risiko," ungkap Eddi.

Eddi mengungkapkan setiap perbankan memiliki caranya masing-masing dalam meminimalkan risiko. Ada perbankan yang langsung percaya kepada suatu fintech dan ada juga yang tidak.

Mandiri Kapital memilih ikut terlibat pada awal kerja sama dan setelah beberapa kali siklus kerja sama baru pihaknya mempertimbangkan menyerahkan sepenuhnya kepada fintech tersebut dengan memberikan rambu-rambuter tentu.

Sedangkan dari sisi regulator terkait risiko penyaluran kredit perbankan melalui fintech, OJK melihat tidak ada persoalan. Hendrikus menilai tidak terdapat isu selama perbankan mengikuti rambu-rambu yang ada.

"Perbankan dapat ikut berpartisipasi memberi pinjaman sebagai penyedia dana bersama-sama dengan penyedia dana lainnya melalui fintech lending, dengan tetap mengikuti seluruh peraturan terkait prinsip kehati-hatian di bidang perbankan. Atau perbankan dapat menjadi penyedia dana tunggal bagi peminjam melalui fintech lending, dengan tetap mengikuti seluruh ketentuan di bidang perbankan," terang Hendrikus. (OL-11)

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Baharman
Berita Lainnya