Headline
Presiden Prabowo berupaya melindungi nasib pekerja.
Laporan itu merupakan indikasi lemahnya budaya ilmiah unggul pada kalangan dosen di perguruan tinggi Indonesia.
BURSA Efek Indonesia (BEI) tengah mengkaji perubahan batasan harga terendah perdagangan saham di pasar sekunder yang saat ini berada pada posisi Rp50 per lembar. Seperti dilansir Antara, Direktur Penilaian Perusahaan BEI Samsul Hidayat menyampaikan pengkajian itu untuk menentukan penyesuaian yang akan dilakukan, apakah harga perlu penaikan atau justru penurunan.
"Itu masih wacana yang masih kami kaji," ujar Samsul, Jumat (5/2)di Jakarta. Ia berharap evaluasi harga terendah saham nantinya dapat menggerakkan saham-saham yang kurang aktif diperdagangkan, alias 'saham tidur' agar kembali bergeliat. "Beberapa saham di BEI berada pada level Rp50 per lembar. Diharapkan, evaluasi perubahannya bisa membangunkan 'saham tidur'," kata Samsul.
Hingga saat ini belum ada angka tertentu yang jadi patokan otoritas bursa. Samsul mengemukakan, wacana itu hadir mengingat emiten dengan saham pada level tersebut mungkin dalam kondisi tidak baik. "Faktor industrinya yang meredup mungkin bisa mendorong suatu saham emiten terus turun hingga ke level terendah, padahal kinerjanya belum tentu turun," imbuhnya.
Saat merespons wacana itu, Kepala Riset NH Korindo Securities Reza Priyambada berharap harga minimal per lembar saham justru tidak diturunkan. "Harga yang terlalu rendah tidak ada benefitnya juga untuk investor," terangnya saat dihubungi, (8/2). Nilai Rp50 per lembar saat ini dianggap Reza sudah cukup rendah. Dia berharap justru harga itu akan naik.
"Kalau bisa menjadi Rp60 atau Rp75 per lembar, jangan dibuat terlalu rendah," papar Reza. Bila diturunkan kurang dari Rp50, menurut Reza, malah sulit untuk menarik investor karena bisa jadi saham dianggap tidak berkualitas lantaran kelewat murah. Untuk menghidupkan aktivitas 'saham tidur', Reza mengatakan harus ada tindakan dari BEI seperti menegur emiten terkait.
"Kalau emiten tidak ada usaha untuk membuat sahamnya lebih aktif, mending di-delisting saja daripada banyak emiten di bursa, tapi tidak aktif," ujarnya. Analis pasar modal Lucky Bayu Purnomo berpendapat evaluasi harga minimum per lembar saham yang dilakukan BEI bisa jadi langkah untuk meningkatkan likuiditas di pasar modal. "Ketika IHSG (indeks harga saham gabungan) sempat menyentuh 4.500, pelaku pasar modal menilai likuiditas di pasar modal masih ketat. Jadi memang perlu upaya meningkatkan likuiditas di pasar modal," jelas Lucky.
Namun, ia meminta agar evaluasi bukan sekadar pada harga minimal, melainkan juga fundamental dari para emiten. "Perlu diperhatikan fundamental perusahaan. BEI harus mengevaluasi dan menekankan agar para emiten bagaimanapun harus mempertahankan kinerja fundamental minimalnya Rp50 dan Rp100," ujarnya.
Lucky menilai harga minimal Rp50 per lembar saham untuk emiten dengan modal kecil (small cap), serta Rp100 untuk emiten dengan modal besar (big cap) masih menarik dan terjangkau. "Ini sudah cukup mencerminkan," pungkasnya.
Dipanggil
BEI sendiri berencana memanggil 16 emiten yang harga sahamnya belum bergerak naik sejak IHSG anjlok di 2015. Dirut BEI Tito Sulistio mengatakan 16 emiten itu diundang untuk berdiskusi dan memaparkan kinerja serta rencana aksi korporasi mereka. Ia berharap, jika saham-saham milik 16 emiten itu bisa bergerak naik, potensi IHSG kembali ke kisaran 5.000-5.500 kian terbuka. Akhir pekan lalu, IHSG ditutup di 4,798 atau naik 2,85% dari sehari sebelumnya. Adapun nilai kapitalisasi bursa mencapai Rp5.114 triliun. (*/E-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved