INDONESIA sudah seharusnya memiliki politik energi yang berorientasi jangka panjang dan berkelanjutan (sustainable). Melihat kebutuhan dan pertumbuhan ekonomi di masa datang, orientasi penggunaan bahan bakar fosil untuk pembangkit listrik pun harus mulai diubah. Dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2015, pembangunan infrastruktur kelistrikan 2015- 2019 diproyeksikan memenuhi kebutuhan listrik sebesar 42,7 gigawatt (Gw). Pada 2050 nanti, diperkirakan kebutuhan listrik nasional akan mencapai 400 Gw.
Saat ini mayoritas pembangkit listrik di Indonesia masih bergantung pada bahan bakar minyak (BBM) dan batu bara. Melihat ketergantungan bahan bakar yang berasal dari fosil itu, pengamat energi Sofyano Zakaria berpendapat harus ada kemauan untuk menggunakan bahan bakar nonfosil untuk pembangkit listrik di Indonesia. "Kalau saya bilang, kebijakan energi kita harus punya roadmap," tegasnya ketika dihubungi, Jakarta, kemarin. Menurutnya, roadmap kebijakan energi harus berwawasan Nusantara. Artinya, pemerintah membuat aturan untuk memanfaatkan sumber daya alam sebagai bahan bakar pembangkit listrik sesuai potensi yang ada di daerah.
Seperti daerah yang memiliki air terjun, PLN bisa membuat pembangkit listrik tenaga air skala mikro. Sofyano menegaskan perlu ada paksaan penggunaan bahan bakar nonfosil untuk pembangkit listrik di Indonesia dan harus diatur dalam peraturan menteri ESDM ataupun UU Energi. Sementara itu, Wakil Ketua Komisi VII DPR Satya Widya Yudha menilai pengembangan energi terbarukan untuk pembangkit listrik masih terkendala sejumlah aturan. Ia mencontohkan persyaratan kandungan lokal untuk pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) menjadi batu sandungan bagi peserta tender proyek PLTS. Satya menya rankan prasyarat tersebut ditiadakan dulu sementara waktu untuk mendukung pengembangan PLTS.
"Kita perlu perangsang supaya tender bisa diikuti oleh perusahaan swasta nasional, bukan cuma BUMN," papar Satya saat dihubungi kemarin. Untuk pengembangan listrik tenaga Nuklir, Kepala Badan Tenaga Atom Nasional (Batan) Djarot S Wisnubroto mengakui nuklir menjadi pilihan terakhir jika pengembangan energi alternatif lain tidak berjalan. Opsi pilihan terakhir ini tertuang dalam peraturan pemerintah yang tengah dibahas agar direvisi oleh DPR.
Lebih murah
Meski ada pilihan bahan bakar nonfosil seperti air, angin, panas bumi, matahari, dan nuklir, PT PLN lebih memilih membangun PLTU (pembangkit listrik tenaga uap) batu bara. Direktur Konstruksi PLN Nasri Sebayang beralasan membangun PLTU batu bara lebih murah jika dibandingkan dengan PLTP (pembangkit listrik tenaga panas bumi) dan PLTA (pembangkit listrik tenaga air). Apalagi, cadangan batu bara Indonesia masih sangat besar. "Ini yang mesti kita manfaatkan," katanya saat dihubungi kemarin. Selain murah, lama pembangunan PLTU hanya sekitar 5 tahun jika dibandingkan dengan PLTA dan PLTP yang butuh 7-8 tahun.
Saat ini mayoritas pembangkit listrik di Indonesia masih bergantung pada bahan bakar minyak (BBM) dan batu bara. Melihat ketergantungan bahan bakar yang berasal dari fosil itu, pengamat energi Sofyano Zakaria berpendapat harus ada kemauan untuk menggunakan bahan bakar nonfosil untuk pembangkit listrik di Indonesia. "Kalau saya bilang, kebijakan energi kita harus punya roadmap," tegasnya ketika dihubungi, Jakarta, kemarin. Menurutnya, roadmap kebijakan energi harus berwawasan Nusantara. Artinya, pemerintah membuat aturan untuk memanfaatkan sumber daya alam sebagai bahan bakar pembangkit listrik sesuai potensi yang ada di daerah.
Seperti daerah yang memiliki air terjun, PLN bisa membuat pembangkit listrik tenaga air skala mikro. Sofyano menegaskan perlu ada paksaan penggunaan bahan bakar nonfosil untuk pembangkit listrik di Indonesia dan harus diatur dalam peraturan menteri ESDM ataupun UU Energi. Sementara itu, Wakil Ketua Komisi VII DPR Satya Widya Yudha menilai pengembangan energi terbarukan untuk pembangkit listrik masih terkendala sejumlah aturan. Ia mencontohkan persyaratan kandungan lokal untuk pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) menjadi batu sandungan bagi peserta tender proyek PLTS. Satya menya rankan prasyarat tersebut ditiadakan dulu sementara waktu untuk mendukung pengembangan PLTS.
"Kita perlu perangsang supaya tender bisa diikuti oleh perusahaan swasta nasional, bukan cuma BUMN," papar Satya saat dihubungi kemarin. Untuk pengembangan listrik tenaga Nuklir, Kepala Badan Tenaga Atom Nasional (Batan) Djarot S Wisnubroto mengakui nuklir menjadi pilihan terakhir jika pengembangan energi alternatif lain tidak berjalan. Opsi pilihan terakhir ini tertuang dalam peraturan pemerintah yang tengah dibahas agar direvisi oleh DPR.
Lebih murah
Meski ada pilihan bahan bakar nonfosil seperti air, angin, panas bumi, matahari, dan nuklir, PT PLN lebih memilih membangun PLTU (pembangkit listrik tenaga uap) batu bara. Direktur Konstruksi PLN Nasri Sebayang beralasan membangun PLTU batu bara lebih murah jika dibandingkan dengan PLTP (pembangkit listrik tenaga panas bumi) dan PLTA (pembangkit listrik tenaga air). Apalagi, cadangan batu bara Indonesia masih sangat besar. "Ini yang mesti kita manfaatkan," katanya saat dihubungi kemarin. Selain murah, lama pembangunan PLTU hanya sekitar 5 tahun jika dibandingkan dengan PLTA dan PLTP yang butuh 7-8 tahun.