Headline
Ketegangan antara bupati dan rakyat jangan berlarut-larut.
Ketegangan antara bupati dan rakyat jangan berlarut-larut.
EMPAT perusahan rintisan di Indonesia, yaitu Tokopedia, Traveloka, Go-Jek, dan Bukalapak, telah menjadi unicorn, dengan nilai valuasi di atas US$1 miliar (setara Rp14 triliun).
Belum lama, perusahaan start-up aplikasi transportasi asal Singapura, yaitu Grab, mendapat gelar decacorn karena memiliki valuasi senilai US$10 miliar atau setara Rp140 triliun.
Pengamat e-commerce dan siber Kun Arief Cahyantoro mengatakan berdasarkan sebuah kajian nilai perusahaan e-commerce tersebut secara 'aset real perusahaan' tidak sebesar itu, bahkan kecil.
"Nilai perusahaan tersebut meninggi karena ada investasi yang berasal dari luar negeri," ujar Kun Arief saat dihubungi, Jumat (8/3).
Uang yang mengalir ke kantong dari perusahaan e-commerce itu, sifatnya hanya bentuk 'komitmen'. Benar tersedia sekian besar dana investasi, tetapi perusahaan e-commerce tetap harus mengajukan dahulu kebutuhan dananya didukung proposal program kerja/operasional yang akan dilakukan/kerjakan.
Hal ini bisa dibuktikan dengan 'nilai pembayaran pajak' perusahaan e-commerce dengan mereka tidak termasuk sebagai kelompok pembayar pajak besar.
"Di sini rahasia dari bisnis e-commerce Indonesia. Bisnis ini sesungguhnya adalah bisnis portofolio. Bagian penting dari bisnis portofolio e-commerce Indonesia adalah bagaimana menguantifikasi 'intangible asset' menjadi nilai tawar besar ke investor asing," katanya.
Baca Juga : Pemerintah Gandeng Swasta Bantu UKM
Dengan demikian, potensi unicorn bisa berkembang menjadi decacorn, potensinya sangat kecil karena secara fundamen, bisnis e-commerce ini tidak ditunjang dengan 'real business' yang bernilai US$1 milliar.
Terkecuali munculnya investor lain yang melakukan investasi lebih besar dari yang ada sekarang. Namun, menurutnya, itu sulit karena dua pemain e-commerce terbesar dunia, Alibaba dan Tenshen, telah masuk menjadi investor pada 'tahap unicorn' ini.
Waspada
Dia berpendapat pemerintah sepatutnya mewaspadai tren investasi perusahaan e-commerce ini karena dapat mengulang sejarah kelam bisnis IT, yaitu dot com bubble atau telecommunication bubble di AS.
Hal tersebut dapat mengakibatkan krisis yang dimulai dari krisis kepercayaan serta akan men-trigger krisis lain berikutnya, seperti krisis lapangan kerja dan investasi.
"Saat ini, saya dapat katakan bahwa masa ini adalah masa 'prelude' (pendahuluan) dari e-commerce bubble," tegasnya.
Pemerintah dapat memberikan dukungan yang lebih agar banyak muncul unicorn lain, tetapi di sisi lain untuk menghindari munculnya dampak negatif bubble tersebut.
Pemerintah melalui regulasi yang jelas, berperan sebagai 'mitra valuasi investasi' dan 'pengawas investasi', sebagaimana perbankan diawasi baik investasi dan operasionalnya melalui OJK.
Bahkan terhadap investasi di perbankan pemerintah telah memiliki peraturan yang jelas mengenai besarnya kepemilikan saham bank, dan hal ini belum ada aturan besarnya 'kepemilikan saham e-commerce'.
"Jika sudah terdapat regulasi yang mengatur ketiga hal di atas, menurut saya, tidak akan muncul kembali perdebatan tentang investor fintech (dan e-commerce) yang mayoritas adalah asing," tukas Kun Arief.
Ketua Asosiasi Pengusaha Digital di Indonesia Frans Budi Pranata membandingkan dengan di Singapura, saat pemerintahnya memiliki 100 start-up dan memfasilitasi ruang bekerja gratis serta suntikan dana Rp1 miliar.
"Pemerintah bisa memberikan pelatihan gratis kepada perusahaan start-up dari para ahli digital dunia, seperti Jack Ma, Mark Zuckerberg, dan lainnya. Undang start-up kita mengunjungi Alibaba dan Facebook," tukas Frans saat dihubungi, Kamis (7/3).
Dia juga sependapat kepemilikan saham asing pada e-commerce memang sebaiknya ada batasan. "Ada limit asing hanya 25% maksimal," katanya.
Pakar IT Indonesia Onno W Purbo juga berpikir bila suntikan modal terus-menerus dari investor asing, nantinya start-up anak bangsa Indonesia pun dicaplok menjadi milik asing.
"Kalau suntikan dari investor 100% lokal seperti Djarum, maka jelas-jelas ini yang akan lebih baik buat Republik. Bisnis ini memang mengandalkan data, business intelegent, data mining, hingga artificial intelegent," jelas Onno saat dihubungi, Jumat (8/3). (X-10)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved