Headline

Banyak pihak menyoroti dana program MBG yang masuk alokasi anggaran pendidikan 2026.

Swasembada bukan Antiimpor

Andhika Prasetyo
19/2/2019 10:00
Swasembada bukan Antiimpor
(ANTARA/Harviyan Perdana Putra)

Indonesia telah masuk kategori negara yang telah berhasil melakukan swasembada pangan. Namun, perlu diingat, swasembada pangan bukanlah berarti hidup tanpa impor.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bustanul Arifin mengungkapkan, berdasarkan ketetapan Food and Agriculture Organization (FAO), sebuah negara dicap swasembada jika memiliki hasil produksi minimal 80% dari total kebutuhan.

Jika menilik data produksi beras yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) yang mencapai 32,4 juta ton dengan perbandingan konsumsi 29,5 juta ton, Indonesia sudah surplus hampir 3 juta ton.

“Jika melihat itu, Indonesia sekarang swasembada,” ujar Bustanul dalam diskusi yang diselenggarakan di Kantor CSIS, Jakarta, kemarin.

Keberhasilan dalam mengelola pangan, lanjut dia, tak hanya bisa diukur dari kemandirian produksi, tapi juga dari keterjangkauan atau akses yang mudah ke masyarakat.

“Kalau produksi 100% tapi masyarakat tidak bisa mengakses, sama saja tidak punya ketahanan pangan,” ucapnya.

Oleh karena itu, ketimbang terus berdebat soal swasembada, ada baiknya semua pihak mulai fokus pada sisi permintaan yakni dengan memastikan masyarakat dapat mengakses bahan pangan dengan harga terjangkau.

Ekonom senior CSIS Mari Elka Pengestu mengatakan, dengan membuka keran impor beras, bukan berarti Indonesia tidak swasembada pangan. Selama 2018, impor beras yang dilaksanakan pemerintah tidak lebih dari 10% dari total produksi sehingga seharusnya tidak terlalu menjadi persoalan. Mantan menteri perdagangan di era SBY itu pun menilai pernyataan calon presiden nomor urut 02 yang ingin mencapai swasembada dengan menghentikan impor tentu bukan hal yang tepat.

“Kalau pembahasan terus ke sana, hanya membuang tenaga. Lebih baik kita sekarang berpikir bagaimana mengangkat produktivitas,” tandas Mari.

Sebagai cadangan

Di tempat terisah, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menyatakan impor pangan bukan terjadi baru-baru ini saja. Harus diakui memang sejak 1960, Indonesia sudah melakukan impor untuk beras. “Buktinya dari data, kita impor beras terus sejak 1960-an,” kata Enggar di Cikupa, Tangerang, kemarin.

Presiden Joko Widodo juga mengatakan impor beras sangat diperlukan untuk menjaga kebutuhan pangan nasional, juga guna menstabilkan harga di pasaran.

“Karena itu, kami sampaikan dalam debat calon presiden (capres) bahwa impor itu sangat diperlukan,” kata Presiden Jokowi saat kunjungan kerja ke Panimbang, Pandeglang, Banten, kemarin.

Pemerintah mengimpor beras sebagai cadangan strategis supaya memenuhi ketersediaan pangan nasional. Selain itu, impor beras nyatanya mampu menstabilkan harga di pasaran sehingga inflasi dapat teratasi. “Apabila harga stabil dan infl asi terjaga dengan baik,tentu daya beli masyarakat meningkat,” katanya.

Menurut Jokowi, impor beras juga bisa dilakukan jika bangsa ini terkena bencana alam, juga gagal panen akibat terserang hama atau penyakit tanaman. “Karena itu, pemerintah masih memerlukan impor beras,” imbuh Kepala Negara. (Pol/Ant/E-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : PKL
Berita Lainnya