ORANG bilang laut kita kaya, bak kolam susu. Ikan melimpah, dipenuhi keanekaragaman hayati, bahkan menyimpan sumber kandungan energi tiada tara. Itu benar, tak ada yang memungkiri. Sayangnya, bangsa ini terlalu lama dininabobokan dengan alunan pujian. Selama berpuluh tahun lamanya, kekayaan laut Indonesia malah dinikmati negara lain.
Lihat saja, betapa marak kapal nelayan asing dengan bobot fantastis melenggang bebas di wilayah pengelolaan perikanan (WPP) RI. Nelayan lokal pun menjerit. Tak heran garis kemiskinan begitu lekat di pundak penduduk pesisir yang mata pencaharian utamanya melaut. Selanjutnya, pemerintah pun ketar-ketir tatkala menyadari berapa besar potensial penerimaan negara yang hilang akibat praktik pencurian ikan.
Perubahan besar kemudian terjadi ketika estafet kepemimpinan Kementerian Kelautan dan Perikanan bergulir ke tangan Susi Pudjiastuti. Perempuan asal Pangandaran yang juga berkutat di bisnis perikanan itu ternyata sudah gerah melihat kekayaan laut Indonesia dieksploitasi besar-besaran oleh bangsa asing, bukannya mendatangkan kemamkmuran bagi rakyat. Perlahan Susi mulai melakukan pembenahan di tata kelola WPP RI. Sejumlah kebijakan yang dicetuskan perempuan bergaya nyentrik ini terbilang kontroversial.
Melalui Peraturan Menteri KP Nomor 56 Tahun 2014 tentang Penghentian Sementara (Moratorium) Perizinan Usaha Perikanan Tangkap di WPP RI, kapal eks asing dilarang beroperasi untuk waktu yang ditentukan. Sebanyak 1.132 kapal eks asing dari total 187 pemilik kemudian masuk dalam tahap Analisa dan Evaluasi (Anev).
Dari Anev yang terbagi dalam empat tahap itu, terbukti mayoritas kapal eks asing melakukan pelanggaran operasional dan terindikasi melakukan praktik Illegal, Unreported and Unregulated (IUU Fishing). Mulai dari sengaja mematikan alat deteksi kapal, yakni Vessel Monitoring System (VMS), hingga tidak dilengkapi Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) maupun Surat Izin Kapal Pengangkut/Pengumpul Ikan (SIKPI).
Segala daya upaya Susi yang tentunya menggandeng berbagai pemangku kepentingan, membuahkan hasil signifikan. Gerak-gerak nelayan asing di WPP RI mulai menurun drastis. Meskipun patroli berikut pengawasan berkala oleh Satuan Petugas (Satgas) anti Illegal Fishing masih saja menemukan nelayan asing yang membandel, itu tak lantas mengebiri semangat pemerintah memberantas praktik IUU Fishing, hingga transshipment di tengah laut untuk kemudian diekspor secara illegal. Susi bahkan dengan lugas telah menyatakan asing tak lagi diperbolehkan melaut di WPP RI.
Kini, sumber perikanan di teritori kelautan yang berlimpah ruah, sepenuhnya dapat dimanfaatkan nelayan lokal. KKP mencatat hingga triwulan III 2015, produksi perikanan tangkap mencapai 4,27 juta ton atau meningkat 5,03% dibandingkan periode serupa tahun lalu. Tantangan terbesar yang dihadapi saat ini bagaimana memberdayakan nelayan lokal agar mampu mengelola WPP RI dengan optimal.
Memang benar nelayan lokal tak lagi terhimpit nelayan asing, namun mereka tengah menghadapi problematika imbas kebijakan yang dikeluarkan KKP. Salah satunya ialah pelarangan penggunaan alat tangkap ikan (API) pukat tarik atau cantrang, terutama untuk kapal berbobot di atas 30 gross tonnage (GT). Ketentuan itu ditegaskan dalam Peraturan Menteri KP Nomor 2 Tahun 2015 tentang Larangan Penggunaan API Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di WPP RI.
Pelarangan itu didasari pertimbangan kelestarian lingkungan di mana API jenis cantrang diketahui rentan merusak ekosistem dasar laut lantaran cakupan jaring yang besar dan meluas. Di lain sisi, penggunaan API cantrang disinyalir telah memantik konflik nelayan di berbagai daerah. Laiknya dua sisi mata uang, kendati pelarangan diklaim bersubstansi positif, namun efeknya menimbulkan permasalahan baru.
Sebagian nelayan mengaku tak bisa melaut karena ketidakmampuan dari segi finansial untuk mengganti API yang dilarang dengan API baru. Hal lain yang turut mengusik yakni obsesi nelayan melaut lebih jauh tidak disokong kekuatan kapal berbobot besar. Rerata nelayan kecil diperkirakan memiliki kapal di bawah 5 GT. Situasi itu tentu patut diwaspadai. Ketika terjadi kekosongan, maka kembalinya nelayan asing bukan suatu hal yang mustahil.
Pekerjaan rumah dari sebuah perubahan besar memang membutuhkan proses yang panjang. Lepas dari jerat asing, sekarang pemerintah harus memutar otak untuk memberdayakan nelayan lokal.
Menyongsong tahun yang baru, Susi telah menaruh komitmen dengan mengalokasikan sebagian besar anggaran KKP di APBN 2016 total mencapai Rp 13,8 triliun, untuk menaungi kepentingan stakeholder mulai dari pelaku usaha hingga nelayan. Satu dari program yang ditunggu ialah pembagian 5.000 unit kapal gratis bagi nelayan di awal tahun depan.
Tentunya masih banyak lagi terobosan KKP yang diharapkan segera direalisasikan, termasuk dorongan pengembangan industri hilirisasi atau pengolahan produk perikanan untuk memberikan nilai tambah, termasuk bersumbangsih pada kinerja ekspor. Kampanye gerakan makan ikan pun perlu digencarkan agar serapan hasil perikanan di tengah masyarakat meningkat, menyusul menurunnya harga ikan yang rerata tergolong mahal.
Keseluruhan upaya dari pemerintah harus lah menjadi rantai yang harmonis untuk memakmurkan rakyat. Sehingga, laut sebagai masa depan bangsa bukan lagi sekedar kiasan semata.(Q-1)