Headline

Presiden Trump telah bernegosiasi dengan Presiden Prabowo.

Fokus

Warga bahu-membahu mengubah kotoran ternak menjadi sumber pendapatan

Target Pajak Tumbuh Tinggi, Tax Amnesty Jadi Penyokongnya

Fathia Nurul Haq
30/10/2015 00:00
Target Pajak Tumbuh Tinggi, Tax Amnesty Jadi Penyokongnya
(Antara/Sigid Kurniawan)
PADA postur penerimaan yang disepakati oleh rapat kerja Badan Anggaran (Banggar), penerimaan pajak ditargetkan tumbuh 19% dari target APBN-P 2015 Rp1.294,3 triliun menjadi Rp1.546,6 triliun. Pertumbuhan itu rupanya sudah memperhitungkan pemberlakuan pengampunan pajak (tax amnesty), meskipun RUU-nya belum disahkan dan masih menuai pro dan kontra.

"APBN 2016 sudah menyertakan kebijakan tax amnesty di dalamnya. Kalau tidak ada itu, gak mungkin seperti itu targetnya," kata Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Sigit Priadi Pramudito di sela rapat kerja dengan Badan Anggaran, Jumat (30/10).

Sigit optimistis Rancangan Undang Undang Pengampunan Pajak itu akan rampung bulan depan. Spekulasi ini terhitung berani mengingat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akan memasuki masa resesnya selama dua minggu usai sidang paripurna.

"Rencana tahun ini UU jadi, November jadi, sehingga bisa langsung diimplementasikan. Periodenya selama setahun. Bisa November atau Desember ke Desember tahun depan," ungkap Sigit.

Dalam UU yang akan disahkan tersebut, tarif pajak yang diberlakuan bervariasi. Bagi wajib pajak yang memohonkan pengampunan pada November-Desember tahun ini dikenakan tarif terendah, yakni 3%.

"Semester 1 tahun ke depan 4%, kalau semester 2 bisa 6%," jelasnya.

Tentu saja langkah ini menuai resistensi dari banyak pihak, di antaranya fraksi Partai Keadilan Sejahtera yang lantang menolak pemberlakuan pengampunan pajak.

"Tidak perlu ada tax amnesty. Bisa dibayangkan ketika peluang itu dibuka, semua publik dunia tahu si A simpan di mana, si B simpan di mana, BLBI misal, tidak serta merta dikuasi bank di sana, ketika ada fraud itu harus ditarik ke Indonesia," tegas anggota Banggar Ecky Awal Muharram dalam pandangan fraksi mininya.

Bukan cuma anggota dewan, pengamat pajak Yustinus Prastowo juga gencar menyuarakan penolakannya.

"Indonesia tidak punya basis data, bagaimana bisa menangkap wajib pajak. Kita mestinya menunggu sudah ada roadmap pajak," kata Prastowo.

Pengamat ekonomi dari Prakarsa, A Maftuchan, juga mengungkapkan resistensi yang keras. Menurutnya, pengampunan pajak bisa menjadi trigger wajib pajak yang patuh untuk mencontoh perilaku buruk pengemplang pajak dengan dalih akan dapat pengampunan.

"Terkait tax amnesty, saya tidak setuju. Karena bisa mengakibatkan kepatuhan yang bayar pajak jadi turun, demoralisasi. Karena mereka berpikir akan dapat pengampunan," kata Maftuchah dalam keterangan terpisah.

Menurutnya, solusi yang tepat untuk meningkatkan rasio pajak ialah dengan law-enforcement, alih-alih memberi pengampunan murah bagi pengemplang yang sudah berpuluh tahun merugikan negara.

Sigit mengurai dalam aturan yang dirancang itu, tax amnesty hanya untuk menarik pajak, tidak akan ditindaklanjuti dengan proses hukum apabila dana yang dilaporkan ternyata terkait tindak pidana.
"Ini kebijakan yang dirancang oleh pemerintah. Data yang dihimpun tidak dapat dijadikan untuk pidana umum atau yang lainnya, sehingga kita akan simpan," urainya jelas.

Dengan instrumen tersebut, jelas bahwa penjahat kerah putih yang sudah lama buron maupun diburu mendapat celah untuk dimaafkan dengan biaya yang terbilang murah, yakni hanya 3%-6% dari uang yang digelapkan. Dengan catatan, kasusnya belum disidangkan hingga laporan diterima.

Ecky menuding pemberlakuan tax amnesty ialah exit policy yang diberlakukan tanpa menimbang dampak holistiknya.

Menjawab tudingan itu, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro menampik dengan mengatakan bahwa penyesuaian target penerimaan pajak sudah realistis.

"Kami lakukan penyesuaian cukup mendasar ketika jadi pagu indikatif berubah jadi pagu keuangan. Kami turunkan dari target 2015 jadi outlook 2015. Kemudian, tax amnesty sebagai exit policy, ini bukan exit policy, tapi tax amnesty harus dilakukan," tegas Bambang.

Alasannya diurai Bambang karena tahun 2017 ada kewajiban AEoI sehingga data-data Wajib Pajak akan terbuka dan bisa diakses otoritas pajak di manapun.

"Sebelum 2017 harus ada proses amnesty. WP di luar negeri atau yg belum terdeclair WP harus jadi bagian penerimaan pajak. Kalau tidak uang, mereka akan jadi milik negara lain," cetus Bambang lagi.

Muncul dalam pembahasan dengan Banggar, kekhawatiran tax amnesty malah berbalik mengikis rasio pajak. Saat ini rasio pajak Indonesia baru mencapai 11%, padahal pajak menopang hampir 80% dari total belanja tahun depan yakni Rp2.095 triliun.

"Khawatirnya ada pemasukan besar di awal tapi selanjutnya malah menurun, karena turunnya kepatuhan wajib pajak," kata ketua Banggar Achmadi Noor Supit.

Namun menurut Bambang, justru sebaliknya, pemberlakuan tax amnesty justru akan meningkatkan rasio pembayar pajak.

"Pengampunan pajak tidak hanya bermanfaat sekarang tapi ke depan. Berapa basis pajak yang bisa didapatkan. Kami bukan memaksakan diri tapi kami realistis," tampik Bambang.

Sebagai penekanan, Bambang juga menyebut langkah melakukan pengampunan pajak juga untuk memompa tax ratio yang dinilai tumbuh rendah jika dibanding dengan pertumbuhan ekonomi.

"Tentu akan ada dampak proses secara ekonomi dan fiskal bagi penerimaan pajak," pungkas Bambang. (Q-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Admin
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik