Headline
Mantan finalis Idola Cilik dan kreator konten juga memilih menikah di KUA.
Mantan finalis Idola Cilik dan kreator konten juga memilih menikah di KUA.
Ketegangan antara Thailand dan Kamboja meningkat drastis sejak insiden perbatasan
DI tengah lesunya bisnis properti, para pengembang masih saja menemukan hambatan soal perizinan dari pemerintah daerah sehingga membuat harga properti di dalam negeri sulit dijangkau masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Alhasil, kondisi itu tidak sejalan dengan program pemerintah untuk memenuhi 1 juta rumah bagi masyarakat kecil. Tengok saja, kasus suap Meikarta menjadi gambaran bahwa perizinan properti masih sulit.
Hal itu diakui Anggota Komisi II DPR RI Edi Prabowo. Menurutnya, perizinan birokrasi yang berbelit-belit akan menghambat iklim investasi, termasuk di industri properti.
"Seharusnya, dalam mendorong roda perekonomian, seperti menarik investor dari dalam dan luar negeri harus dipermudah perizinan dan bukan sebaliknya dipersulit,“ ujarnya dalam keterangan tertulis di Jakarta
Dirinya menuturkan kasus suap Meikarta tidak hanya dilihat dari kesalahan pihak swasta tetapi juga pemerintah daerah yang harus terbuka sehingga tercipta iklim investasi yang kondusif.
Namun, dia berpendapat lesunya bisnis properti saat ini tidak semata soal faktor hambatan perizinan birokrasi semata tetapi juga daya beli masyarakat yang menurun.
Baca juga: KPK Mengaku telah Mengetahui Sumber Uang Suap Meikarta
Sementara itu, F Rach Suherman, konsultan bisnis properti menuturkan, di era otonomi, daerah memiliki ekses disharmonisasi regulasi. Dimana paket kebijakan ekonomi XIII Jokowi yang sejatinya bagus, tetapi terhambat berbagai peraturan daerah (Perda) lama yang belum banyak diubah oleh banyak pemerintah daerah.
“Contoh nyata adalah penurunan PPh 5% jadi 2.5%, sama sekali tidak digubris daerah sehingga BPHTB tetap 5% dan hal ini karena PAD. Kepentingan pusat-daerah membuat dunia usaha terjepit di antara dua raja," ujarnya.
Selanjutnya, soal praktik suap yang dilakukan pihak korporasi adalah soal mental. Namun, suap dilakukan swasta atau developer karena ingin membeli waktu saat terhambat panjangnya dan berbelitnya proes perizinan. Padahal perencanaan bagi pengembang harus lekas jalan karena ada cost of money.
Praktik suap, menurut F Rach Suherman, juga karena ada pengusaha yang tidak memenuhi syarat dan kemudian mengambil jalan pintas dan itu pun disambut baik pejabat yang kebetulan kepepet ingin lekas kaya.
Ke depan, untuk menekan praktik suap di sektor properti dan sektor lainnya, model perizinan satu atap dan penyederhanaan meja-meja perizinan seharusnya sudah menjadi tekad pemerintah.
Praktek itu, kata F Rach Suherman, sebenarnya sudah dilakukan pemerintah dan hasilnya lumayan membaik. Seperti memakai Key Performance Indicator (KPI) yang diatur Menpan RB bersama Pemda. Dimana izin A sekian hari kelar, B sekian hari dan sanksi yang tidak mencapai, langsung ganti pejabat baru.
Pengawasan publik, lanjutnya, sangat diperlukan dan hal ini bisa dilakukan lewat informasi digital.
Hal senada juga disampaikan Ali Tranghanda, CEO Indonesia Property Watch, kasus suap Meikarta tidak bisa lepas dari berbelitnya perizinan.
”Meskipun pemangkasan sudah terjadi, tapi praktik di lapangan masih terjadi sehingga suapun tidak bisa dihindari dan ironisnya saat ini pengawasan belum efektif,” tuturnya.
Menurutnya, untuk penyediaan rumah sederhana seharusnya menjadi domain Pemda. Namun, sayangnya, saat ini belum semua Pemda sadar dan hal ini tidak lepas terkait keterbatasan sumber daya manusia dan juga keterbatasan sosialisasi. (OL-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved