Wacana diterapkannya sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK) terus ditentang pelaku usaha di sektor mebel dan kerajinan. Bila tak ada aral melintang, kebijakan yang dicetuskan Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup itu akan berlaku pada awal 2016 mendatang. Industrialis bersikukuh penerapan kebijakan tidak hanya melemahkan daya saing Indonesia di pasar ekspor, melainkan mengancam keberlangsungan industri kecil dan menengah (IKM).
Demikian ditegaskan para pelaku usaha yang tergabung dalam Asosiasi Mebel dan Kerajinan Republik Indonesia (AMKRI). Isu penerapan SVLK memang bukan barang baru, gaungnya sudah terdengar beberapa tahun silam. Maka dari itu, berbagai kajian yang dilakukan asosiasi meyakini pemberlakuan SVLK ke industri hilir (mebel dan kerajinan) tidak tepat sasaran. Bila argumentasi yang mendasari demi membendung penggunaan kayu pembalakan liar, semestinya pemberlakuan SVLK cukup terpusat di sektor hulu, yakni industri pengolahan kayu dan industri yang menggunakan kayu dalam skala besar seperti pulp & paper.
“Industri hilir ini kan ambil kayu dari industri hulu. Kalau dari sananya sudah terapkan SVLK, lantas mengapa yang hilir dipertanyakan lagi legalitasnya?†cetus Sekretaris Jenderal AMKRI Abdul Sobur dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (5/10).
Pun pemberlukan SVLK ke sektor hilir dinilai akan mengguncang pencapaian target pertumbuhan ekspor yang tahun ini diproyeksikan US$ 5 miliar. AMKRI mencatat nilai ekspor mebel tahun lalu sebesar US$ 1,9 miliar, sedangkan hingga Juni 2015 baru mencapai US$ 930 juta. Berbicara kawasan regional ASEAN, nyatanya Indonesia harus ekstra kerja keras untuk menjadi leader.
Sebab, posisi Indonesia masih jauh di bawah Vietnam yang sampai saat ini nilai ekspornya menyentuh angka US$ 7 miliar. Tidak hanya Vietnam, Indonesia pun masih harus melawan pesaing ketat seperti Malaysia dan Laos. Belum lagi negara-negara produsen di kawasan Eropa dan Amerika.
“Boleh saja bilang bahan baku kita melimpah, sumber daya manusianya terampil, tapi dari segi kebijakan (seperti SVLK) ini membuat industri kita kurang kompetitif karena pengurusan izin itu kan membutuhkan biaya besar. Negara pesaing juga tidak menerapkan regulasi sejenis SVLK untuk industri lokal,†imbuh Ketua Umum AMKRI Rudi Halim yang memastikan target ekspor mebel dan kerajinan tidak akan tercapai sebagaimana yang diharapkan bila kebijakan tersebut resmi diterapkan.
Memang bagi industri besar, ongkos administrasi pengurusan SVLK sekitar Rp40 juta–Rp80 juta, tidak terlalu memberatkan. Namun perlu diingat, sambung Sobur, bahwa 80% dari pelaku usaha di sektor mebel dan kerajinan, merupakan industri skala kecil dan menengah (IKM). Di mana penambahan beban biaya tersebut jelas menyulitkan IKM yang kemampuan finansialnya tidak sebesar industri raksasa.
“Bagi industri besar, paling beban biaya bertambah 5-6%. Tapi untuk industri sekelas IKM, signifikan sekali dampaknya. Apalagi setelah dokumen tersebut didapat, kami harus perpanjang lagi setiap tahun dan itu biayanya diperkirakan Rp20 juta–Rp30 juta. Dan perlu siapkan staf khusus untuk pengurusan dokumentasi. Itu kan nambah cost besar,†keluh salah satu pelaku usaha mebel asal Jepara Andang Wahyu Trianto.
Tidak sampai di situ, ketika SVLK benar-benar diterapkan, maka bagi industrialis yang tak mengantongi dokumentasi tersebut, tentu ekspornya akan terhambat. Hal tersebut merupakan ancaman besar bagi IKM lokal yang mayoritas mulai menyasar pasar ekspor, mengingat pasar domestik kian kurang bergairah akibat menurunnya daya beli masyarakat. Dampak dominonya ketika IKM tidak bisa menjalankan ekspor, konsekuensinya akan terjadi pengurangan lapangan pekerjaan secara besar-besaran di basis produksi.
“Bagaimana tidak? Dari total 2,1 juta pekerja yang terhimpun di sektor mebel dan kerajinan, 90%-nya terserap di IKM. Padahal belum lama ini gelombang PHK sudah ada di wilayah Jawa Timur sampai 15 ribu orang,†ucap Abdul Sobur yang kembali menekankan pemerintah harus bergegas memperbaiki iklim investasi yang kondusif.
AMKRI minta 14 pos bebas SVLK
Indonesia sejatinya bisa mengambil peran strategis dalam kancah pasar ekspor produk mebel dan kerajinan kayu. Dilihat dari ketersediaan bahan baku kehutanan yang melimpah, berikut keahlian sumber daya manusia yang mumpuni. Sayangnya, masih ada kebijakan yang kontraproduktif sehingga industri domestik kurang berkembang. Di ranah kawasan ASEAN saja, ekspor Indonesia masih kalah telak dari negara tetangga seperti Vietnam dan Malaysia.
Di samping menentang wacana aturan wajib sistem verifikasi dan legalitas kayu (SVLK) untuk industri hilir, AMKRI turut mendesak pemerintah membebaskan 14 kode Harmonized System (HS) atau pos tarif dari kewajiban SVLK. Keseluruhannya mencakup produk-produk berbahan kayu seperti kursi, lemari, boks bayi, meja, atau furniture pelengkap. Dikhawatirkan, penerapan SVLK pada 14 HS dapat berdampak pada penurunan kinerja ekspor nasional.
“Kita minta 14 kode HS dibebaskan dari kewajiban SVLK agar industri ini bisa bersaing di pentas global,†pungkas Sekretaris Jenderal AMKRI Abdul Sobur kepada pewarta usai konferensi pers di Jakarta, Senin (5/10).
Pihaknya telah mengajukan permohonan pembebasan 14 pos tarif ke Kementerian Perdagangan, agar kemudian ditindaklanjuti Direktorat Jenderal Bea Cuka Kementerian Keuangan. “Dari perdagangan melihat tuntutan AMKRI tidak sejalan dengan kehutanan. Makanya hari in kita akan dimediasi untuk saling memaparkan argumentasi. Sepertinya ini finalnya,†imbuh Sobur. Pembebasan pos tarif dari SVLK diyakininya akan memudahkan kegiatan ekspor pelaku usaha di sektor hilirisasi kayu, seperti mebel dan kerajinan.
Dia berpendapat pemerintah perlu menyadari pemberlakuan kewajiban SVLK pada 14 pos tarif produk hilirisasi kayu di Indonesia, akan menguntungkan pelaku usaha yang berasal dari negara kompetitor raksasa. Sebut saja Tiongkok dan produsen di kawasan Eropa. Sementara berbicara pasar ekspor Amerika, Indonesia harus mempersiapkan diri berkompeisi dengan Kamboja, Myanmar dan Afrika. Maka dari itu, Sobur sedikit menyangsikan pencapaian target ekspor US$ 5 miliar ke pasar Amerika di tahun 2015.
“Karena proses verifikasi V-Legal itu terlalu lama dan memerlukan syarat-syarat pendukung mulai dari perizinan prinsip hingga pengelolaan lingkungan yang kesemuanya memerlukan biaya besar. Belum juga sampai realisasi ekspor, kita sudah terganjal birokrasi dari dalam,†tandas dia.(Q-1)