Presiden tidak Minta Turunkan Harga BBM

Jessica Restiana Sihite
03/10/2015 00:00
 Presiden tidak Minta Turunkan Harga BBM
(--(ANTARA/Oky Lukmansyah))
Pada Kamis lalu (1/10), Presiden Joko Widodo meminta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk menghitung ulang harga BBM, khususnya harga premium. Hitung ulang itu diminta dengan maksud membuka peluang untuk menurunkan harga premium yang ditetapkan tidak berubah pada Oktober ini oleh Kementerian ESDM.

Namun, Menteri ESDM Sudirman Said membantah hal tersebut. Ia berkilah Presiden Jokowi tidak meminta penurunan harga premium, tetapi hanya meminta untuk menghitung ulang. "Yang saya tangkap, Presiden sedang terus mencari berbagai solusi bagaimana cara menggairahkan perekonomian yang sedang melambat. Kepada semua menteri diminta memikirkan stimulus ekonomi sesuai dengan bidang masing- masing," ucap Sudirman melalui siaran pernya, Jumat malam (2/10).

Sudirman mencetuskan dirinya akan meminta timnya dan PT Pertamina (persero) untuk mengkaji manfaat dan mudharat, jika harus melakukan penyesuaian harga BBM. Sebelumnya, ia juga menyatakan akan mengkaji mekanisme yang tidak akan membebani Pertamina. Sebagaimana diketahui, Pertamina masih mengalami kerugian dari penjualan premium dan solar. Hingga awal September, perseroan mengklaim sudah merugi hingga Rp17 triliun.

"Saya yakin kebijakan terbaik apapun adalah yang memberi manfaat lebih besar dibandingkan mudharatnya. Pak Presiden sepanjang interaksi saya selama ini, selalu menghormati judgment profesional," imbuhnya.

Terkait listrik, lanjut Sudirman, pihaknya masih berkoordinasi dengan PT PLN (persero) untuk mengimplementasikan adanya peluang menurunkan kembali tarif listrik untuk industri. Menurutnya, jika harga bahan bakar dan tarif listrik bisa dibuat lebih kompetitif, industri juga akan ikut berkompetitif.

"Tim ESDM terus berkoordinasi dengan PLN. Ini bagian dari usaha kita untuk memberikan stimulus agar perlambatan ekonomi dapat diatasi. Jika industri kita mendapat pasokan bahan bakar dan listrik yang lebih kompetitif, maka kita bisa berharap industri kita juga akan kompetitif," pungkasnya melalui pesan singkat.

Kompensasi dengan subsidi


Di kesempatan berbeda, pengamat kelistrikan dari Universitas Indonesia Iwa Garniwa mencetuskan tidak ada masalah bagi PLN bila harus menurunkan tarif listrik hingga 105, bahkan hingga 20%. Namun, hal itu bisa terjadi bila pemerintah mau menggelontorkan subsidi kepada PLN. Pasalnya, tarif listrik untuk industri sudah tidak lagi disubsidi pemerintah dan mengikuti pergerakan kurs rupiah terhadap dolar AS, inflasi, dan harga minyak Indonesia (ICP).

"Mau turun naik bisa saja bagi PLN. Persoalannya adanya beban subsidi tadi. Kalau pemerintah mau menanggung beban subsidi, mau turun 20% ga masalah," kata Iwa.

Guru Besar Fakultas Teknik UI tersebut menandaskan penurunan tarif listrik hingga 10% tidak bisa disamaratakan ke seluruh industri. Bagi industri padat energi, penurunan 10% akan sangat membantu. "Misal, industri baja. Kalau menurun 10% punya nilai. Tapi lainnya, banyak yang produksinya ga butuh banyak listrik, jadi tidak berpengaruh. Ga bisa dipukul rata penurunan itu ke semua industri," pungkasnya. (Q-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Admin
Berita Lainnya