Wilayah Perairan Indonesia masih Rentan IUU Fishing

Tesa Oktiana Surbakti
02/10/2015 00:00
Wilayah Perairan Indonesia masih Rentan IUU Fishing
(AP/Heri Juanda)
PEMBERANTASAN praktik pencurian ikan (Illegal, Unreported and Unregulated Fishing) terus digencarkan. Pemerintah dan penegak hukum tidak boleh lengah sedikit pun, sebab melimpahnya sumber daya perikanan di perairan Indonesia bagaikan magnet bagi kapal-kapal penangkap ikan dari negara-negara tetangga.

Sepanjang bulan September 2015 yang merupakan musim ikan, diketahui sebanyak 16 kapal tertangkap petugas di bawah naungan Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Kementerian Kelautan dan Perikanan Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan dan TNI AL, lantaran terbukti masuk ke dalam wilayah pengelolaan perikanan (WPP) RI.

Sembilan kapal asing yang diamankan terdiri dari kapal berbendera Vietnam dan adapula berbendera Indonesia namun memperkerjakan ABK asing dan tidak memiliki Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI).

Ukuran kapal yang diamankan bervariasi, mulai dari 11 gross tonnage (GT) hingga 195 GT. Penangkapan dilakukan di atas perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia Laut China Selatan, Natuna, ZEEI Laut Sulawesi dan Pelabuhan Perikanan Samudera Bitung.

“Itu benderanya saja Indonesia tapi buat kamuflase. Yang punya tetap asing begitu juga ABK-nya asing semua, ini tipikal kapal-kapal asing yang mencuri ikan di wilayah kelautan kita,” ucap Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti saat ditemui di kantornya, Jumat (2/10).

Secara keseluruhan, dari Januari hingga September 2015, terhitung lebih dari 7 ribuan kasus penangkapan kapal yang ditangani Dirjen PSDKP KKP, Polair Mabes Polri dan Polair Polda serta Polres sejumlah daerah. Tidak semua kapal yang ditangkap kemudian berakhir pada ranah hukum. Namun jika terbukti bersalah, sebagian kapal disita dan ada pula yang ditenggelamkan.

“Memang tidak semua diproses, kalau yang berhasil tunjukkan bukti saat diperiksa, ya bebas. Yang terbukti bersalah langsung kita proses, itu bentuk sinergitas kami,” sambung Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Asep Burhanudin.

Kembali diungkapkan Susi, pemantauan dari satelit berikut pelacakan melalui Vessel Monitoring System (VMS) menunjukkan masih banyaknya kapal-kapal yang melanggar aturan. Diketahui, rata-rata 50-200 kapal di atas 20-50 meter beroperasi di atas perairan Arafuru.

Sejumlah kapal pun terdeteksi tidak menggunakan VMS dan AIS (Automatic Identification System). Susi melihat kecenderungan kapal-kapal tersebut begitu selesai melaut langsung menyebrang ke perairan Papua Nugini agar tidak tertangkap.

“Ini yang harus kita awasi dengan ketat, karena sampai hari ini perairan Arafuru paling banyak diganggu, dan banyak yang lolos saat mau ditangkap,” tuturnya lugas.

Di sisi lain, yang tak kalah patut diwaspadai ialah keberadaan palm boat yang merupakan kapal tangkap berukuran kecil. Parahnya, jenis kapal tersebut akan membawa hasil tangkapan ke kapal berukuran besar atau dengan kata lain melakukan praktik bongkar muat di tengah laut (transshipment). Susi menduga modus tersebut sengaja dipakai pemilik kapal besar untuk memudahkan proses pengambilan ikan di wilayah perairan Indonesia. Biasanya palm boat sengaja disiagakan di tepi wilayah perbatasan.

“Kapal-kapal kecil ini bukan sedikit hasilnya, kalau mereka tangkap ikan jenis yellow fin ukuran besar sekitar 3-4 ekor saja sudah dapat Rp 80-100 juta per hari. Bisa dibayangkan berapa kerugian yang kita alami kalau kapal-kapal jenis palm boat disebar kemudian hasilnya dikumpulkan ke kapal besar dan dibawa ke luar,” geramnya.(Q-1




Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Admin
Berita Lainnya