“Sesempurna apa pun kopi yang dibuat, kopi tetaplah kopi, punya sisi pahit yang tak mungkin disembunyikan†demikian kutipan yang begitu tersohor dalam novel buatan Dewi Lestari, Filosofi Kopi. Pahitnya kopi memang tak bisa lagi disembunyikan, apalagi jika berbicara berapa besar pemasukan yang diterima negara dari ekspor kopi. Sekejap rasa pahit itu berubah menjadi manis.
Dalam lima tahun terakhir Indonesia terus mengecap rasa “pahit†kopi dengan meningkatnya nilai ekspor. Tercatat pada 2014 kemarin, nilai ekspor komoditas kopi mencapai US$ 332,24 juta atau meningkat 9,9% dari tahun 2013 sebesar US$ 302,12 juta. “Diproyeksikan tahun ini bisa mencapai US$ 400 ribu, Insya Allah,†celetuk Direktur Industri Minuman dan Tembakau Faiz Achmad di tengah pencanangan hari kopi internasional di Kementerian Perindustrian, Kamis (1/10).
Indonesia boleh berbangga hati. Negara kepulauan ini setidaknya memiliki 10 jenis kopi dengan julukan indikasi geografis. Dalam artian, kopi tersebut sudah mendapat pengakuan internasional atas kekhasan kopi dan tidak ditemukan di lokasi lain selain negara asalnya. Jenis kopi yang sudah melanglang dunia seperti arabika gayo, sumatera arabika simalungun, kopi robusta lampung, arabika java preanger, java arabika sindoro dan arabika kintamani. Indonesia sendiri merupakan negara penghasil kopi terbesar ketiga di dunia setelah Brasil dan Vietnam. Hasil produksi di tahun 2014, mencapai 685 ribu ton atau 8,9% dari produksi kopi dunia dengan komposisi 76,7% jenis kopi robusta dan 23,3% jenis arabika.
“Tapi perlu dilihat ada perubahan tren akhir-akhir ini. Kopi yang kita produksi tidak lagi hanya berfokus pada pasar ekspor, konsumsi dalam negeri mulai meningkat,†selorohnya.
Bak primadona, komoditas kopi pun menjadi rebutan. Hal itu diamini langsung oleh Wakil Ketua Umum III Asosiasi Eksportir dan Industri Kopi Indonesia (AEKI) Theng Hong Sioe. Sebagai eksportir yang kerap menyasar pasar Amerika Serikat, Sioe mengakui komposisi ekspor dengan konsumsi domestik mengalami perubahan dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Pada 2010 tercatat penyaluran komoditas kopi ke pasar ekspor berkisar 80-85%, sedangkan pada 2014 menyusut 60%. Dari sisi konsumsi meningkat 1,1 kg per kapita dari konsumsi sebelumnya sebesar 0,5 kg.
“Karena pertumbuhan kafe sudah pesat di berbagai kota, di desa-desa juga banyak warung-warung kopi sederhana. Gak heranlah produksi kopi kita banyak terserap ke dalam negeri,†ucap Sioe.
Sioe tidak mempersoalkan dimulainya tren “rebutan pasarâ€, hanya saja dia menekankan produksi kopi yang diserap dalam negeri sebaiknya berkualitas medium. Adapun kualitas high standard lebih cocok diarahkan ke pasar ekspor guna meningkatkan hasil devisa, mengingat harga kopi high standard dua kali lipat dari kopi jenis medium.
“Kalau yang kualitas medium kita paksa ekspor, sama saja devisanya kecil. Biarin saja yang high standard disalurkan ke pasar ekspor,†pungkasnya.
Menyiasati pahitnya kopi yang kian jadi rebutan, Faiz kembali menambahkan diperlukan upaya peningkatan produksi. Tidak hanya melalui intensifikasi, melainkan perluasan (ekstensifikasi) lahan perkebunan) yang sampai saat ini mencapai 1,24 juta hektare.
“Terutama arabika yang produksinya masih sekitar 25%, padahal kebutuhan di pasar Amerika dan Eropa terus meningkat. Dari Kementerian Pertanian kita berharap ada upaya peningkatan produksi dan di lahan pertanian rakyat bisa diselipkan tanaman kopi. Tujuannya agar kita tidak kewalahan penuhi pasar domestik dan eksporâ€, tandas Faiz.(Q-1)