Headline

Senjata ketiga pemerataan kesejahteraan diluncurkan.

Fokus

Tarif impor 19% membuat harga barang Indonesia jadi lebih mahal di AS.

Hilirisasi Pertambangan Harus Selaras dengan Kebutuhan

Jessica Restiana Sihite
29/9/2015 00:00
 Hilirisasi Pertambangan Harus Selaras dengan Kebutuhan
(ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja)
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) akan mempertimbangkan untuk tidak memaksa pembangungan tempat pengolahan dan pemurnian (smelter) oleh seluruh jenis komoditi tambang. Pun, tidak semua perusahaan pertambangan tidak diharuskan membangun smelter. Perusahaan-perusahaan tambang bisa membentuk konsorsium untuk membangun smelter.

Hal itu disampaikan Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono saat diskusi tentang Revisi Undang-Undang No 4/2009 tentang Minerba. Dia mengatakan hitungan sementara pemerintah, kapasitas terpasang smelter dengan kapasitas produksi ore para pemegang izin usaha pertambangan (IUP) sudah berlebihan.

"Kita sudah hitung kapasitasnya smelter berapa, IUP kapasitasnya berapa. Kalau hitungan sementara, lebih. 2 banding 1 itu," cetus Bambang di kantornya, Jakarta, Selasa (29/9).

Karena itu, Kamis (1/10), pihaknya akan menemui pemegang IUP nikel di Sulawesi untuk membahas smelter. Bambang mengatakan pihaknya masih belum menentukan sikap apakah smelter akan dipertimbangkan untuk tidak dikembangkan atau tetap terus didorong.

"Nanti itu kebijakan pemerintah. Apa distop apa didirikan smelter lagi. Kita besok berbicara dengan daerah," tandasnya.

Pertimbangan itu, kata Bambang, juga dilandasi oleh kebutuhan produk hilirisasi pertambangan di dalam negeri. Menurutnya, data kebutuhan produk hilirisasi pertambangan di dalam negeri harus disediakan terlebih dahulu. Data itu merupakan tugas dari Kementerian Perindustrian karena sektor industri yang nantinya akan menggunakan produk-produk hilirisasi pertambangan.

"Kuncinya adalah negara ini harus jadi negara industri. Kalau kita buat smelter sebanyak-banyaknya, lalu diekspor, ya sama aja. Barang kita cepat habis, sementara kita tidak jadi negara industri. Kita ga dapat apa-apa," terang Bambang.

Pihaknya pun akan mempertimbangan untuk melonggarkan pembangunan smelter bagi komoditas tambang yang nilai tambahnya tidak terlalu besar. Sayangnya, ia tidak menyebut contoh jenis komoditas tambangnya.

Meski dipertimbangkan akan dilonggarkan, ekspor ore untuk jenis komoditas yang nilai tambahnya kecil ditegaskan Bambang tidak akan bisa langsung diekspor.

"Nanti kita evaluasi apa saja jenisnya. Tapi dilogika saja. Kalau loncatannya hanya 10% dari kondisi terakhir, masa disuruh ningkatin sampai 90%? Sedangkan investasi cukup besar," tandas Bambang.

Di kesempatan yang sama, Ketua Pelaksana RUU Minerba Eva Armila menilai kebijakan hilirisasi yang sudah tertuang dalam UU Minerba saat ini sudah memadai dan harus dipertahankan. Namun, menurut dia, program tersebut harus disinkronkan dengan rencana strategis nasional.

"Hilirisasi harus dilihat secara komprehensif. Harus dilihat dari hulu sampai hilir. Harus sinkron dengan rencana strategis nasional," imbuhnya.

Tidak terbit tahun ini

Lebih lanjut, Bambang mencetuskan RUU Minerba tidak akan selesai dibahas bersama Komisi VII DPR RI pada tahun ini. Padahal, RUU Minerba masuk ke dalam program legislasi nasional (prolegnas) 2015 yang artinya kelar pada tahun ini.

"Ini sudah mau Oktober. Kemungkinan besar tidak jadi tahun ini. ESDM juga sedang fokus ke RUU Migas dulu," ujar Bambang.

Senada, Ketua Indonesia Mining Institute (IMI) Irwandi juga pesimistis RUU Minerba disahkan pada tahun ini. Naskah akademik dari RUU tersebut saja baru akan diselesaikan IMI pada akhir Oktober mendatang. "Ga mungkin selesai di DPR tahun ini. Kita saja kerja berbulan-bulan membuat naskah akademik hingga menyusun pasal-pasalnya," pungkasnya. (Q-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Admin
Berita Lainnya