Headline
Saat ini sudah memasuki fase persiapan kontrak awal penyelenggaraan haji 2026.
Saat ini sudah memasuki fase persiapan kontrak awal penyelenggaraan haji 2026.
BADAN Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan angka rasio gini atau tingkat ketimpangan antara penduduk kaya dan miskin di Indonesia turun tipis dari 0,391 pada September 2017 menjadi 0,389 pada Maret 2018.
Berkurangnya rasio gini melengkapi capaian penurunan tingkat kemiskinan dari 10,12% menjadi 9,82% pada periode yang sama kali ini.
Menurut Kepala BPS Suhariyanto, faktor utama yang menjadi pendorong turunnya rasio gini ialah kenaikan pengeluar-an oleh masyarakat yang menandakan adanya peningkatan pendapatan. "Secara nasional, kenaikan pengeluaran per kapita kelompok bawah lebih cepat dibandingkan kelompok menengah dan atas," ujar dia, di Jakarta, kemarin (lihat grafik).
Sayangnya, menurut BPS, penurunan tingkat ketimpangan ini belum merata antara kota dan desa. Rasio gini di perdesaan justru meningkat dari 0,320 pada September 2017 menjadi 0,324 pada Maret 2018. Adapun di perkotaan berhasil turun dari 0,404 menjadi 0,401 pada periode yang sama. "Ini memberikan warning, bahwa 40% masyarakat lapisan bawah harus diberi perhatian," kata Suhariyanto.
Ketika dimintai tanggapannya mengenai hal ini, peneliti ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Latif Adam mengakui memang ada indikasi utilisasi dana desa belum benar-benar mampu memberdayakan masyarakat perdesaan. Justru, dia menduga, masyarakat di luar desa yang mendapat tetesan dari dana tersebut. "Ada indikasi bahwa tenaga kerja untuk proyek infrastruktur karena tuntutan kualitas, diambil dari luar desa. Demikian juga, raw material untuk membangun infrastruktur diambil dari toko-toko material di luar desa," ujarnya.
Hal ini, kata dia, bisa terjadi karena ada aturan administratif bahwa material harus diambil dari toko yang punya izin usaha, kuitansi, dan lainnya. Padahal untuk beberapa material seperti pasir atau kerikil sebenarnya bisa diambil dari masyarakat desa. "Ini yang tidak bisa dipenuhi masyarakat desa," tegasnya.
Selain itu, menurut dia, pola pencairan dana desa sebanyak empat kali justru menambah beban ke pemerintahan desa karena administrasinya yang sulit. "Oleh karena itu pendampingan akan dana desa perlu dihidupkan, sebab kapasitas pemerintahan desa belum memadai. Mereka butuh pendamping tidak hanya untuk masalah pemenuhan persyaratan administratif, tetapi juga pemilihan jenis infrastruktur yang akan dibangun dan identifikasi sektor/produk yang harus dikembangkan."
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved