Headline
Pemerintah tegaskan KPK pakai aturan sendiri.
BERBAGAI upaya dilakukan pemerintah untuk menggenjot pembangunan infrastruktur. Salah satunya dengan mendorong skema pendanaan Kontrak Investasi Kolektif (KIK) Dana Investasi Infrastruktur (Dinfra) sebagai alternatif pembiayaan proyek-proyek infrastruktur.
Anggota Komisioner Otoritas Jasa Keuangan bidang Pengawas Pasar Modal Hoesen mengungkapkan Dinfra merupakan reksadana yang dipergunakan untuk menghimpun dana investor yang nantinya akan diinvestasikan pada aset infrastruktur.
Skema tersebut melibatkan manajer investasi dan mereka dapat menempatkan dana di aset infrastruktur dengan porsi minimal 51% dari nilai aktiva bersih (NAB).
Sisanya, maksimal 49%, bisa ditempatkan pada instrumen pasar uang atau efek dalam negeri.
Dinfra tentu memiliki perbedaan dengan Reksadana Penyertaan Terbatas (RDPT) dan Kontrak Investasi Kolektif (KIK) Efek Beragun Aset (EBA).
Direktur Research & Head Alternative Investment PT Bahana TCW Investment Management Soni Wibowo mengungkapkan masyarakat saat ini memang masih lebih mengenal RDPT sebagai reksadana yang fokus pada proyek infrastruktur dengan penawaran yang sangat terbatas dan KIK EBA yang lebih kepada investasi berbentuk utang.
Padahal, lanjutnya, Dinfra memiliki sifat yang lebih terbuka karena bisa ditawarkan melalui penawaran umum dan terbatas dan tercatat di Bursa Efek Indonesia. Artinya, skema investasi itu bisa diperdagangkan di pasar sekunder.
"Dinfra memiliki sifat yang lebih terbuka dibandingkan RDPT yang untuk mendapatkan pasar primer saja sulit," ujar Soni di Jakarta, Kamis (3/5).
Oleh karena itu, baik RDPT maupun Dinfra memiliki pangsa pasarnya masing-masing. RDPT merupakan produk yang jarang dimiliki investor umum dan memiliki nilai investasi awal yang besa. RDPT belum tentu bisa dijangkau semua investor, namun Dinfra memiliki cakupan investor yang lebih luas.
Hanya saja, Dinfra lebih cocok untuk investor yang memiliki periode investasi jangka menengah hingga panjang.
Berbagai skema pendanaan pembangunan infrastruktur dilahirkan tidak lain untuk memenuhi kebutuhan biaya yang sangat besar. Berdasarkan data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, total nilai investasi yang dibutuhkan dalam pembangunan infrastruktur dalam Rencana 0embangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019 sebesar Rp4.792 triliun.
Dari jumlah itu, tercatat pendanaan dari Anggaran Pengeluaran dan Belanja Negara/Daerah hanya sebesar Rp1.978 triliun atau 41% dan Badan Usaha Milik Negara sebesar Rp1.066 triliun atau 22%. Dengan demikian, pihak swasta harus dapat masuk dan berkontribusi untuk memenuhi sisa kebutuhan yang mencapai 36% atau Rp1.751 triliun. (OL-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved