Headline
Banyak pihak menyoroti dana program MBG yang masuk alokasi anggaran pendidikan 2026.
Banyak pihak menyoroti dana program MBG yang masuk alokasi anggaran pendidikan 2026.
PEMERINTAH berupaya untuk terus mendorong kemitraan antara petani tembakau selaku produsen, dan perusahaan sebagai pengguna bahan baku, guna mendorong industri yang lebih baik di masa mendatang.
Saat ini skema kemitraan telah diterapkan. Perusahaan harus menyerap tembakau petani lokal sebagai syarat untuk memperoleh rekomendasi teknis dari Kementerian Pertanian, sebelum mengajukan impor ke Kementerian Perdagangan.
"Kemitraan diperlukan agar petani memiliki kepastian pembelian dengan kualitas dan harga yang sudah disepakati dan ini sudah dilakukan oleh pihak swasta," ujar Direktur Perbenihan Perkebunan Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Muhammad Anas dalam acara Asia Tobacco Forum di Lombok, Nusa Tenggara Barat, Selasa (27/3).
Selain membantu penyerapan hasil produksi, perusahaan juga diminta membina para petani supaya dapat menghasilkan tembakau dengan kualitas yang baik. Dengan begitu, hasil akhir dari produk yang diciptakan juga akan memiliki nilai yang bagus.
Namun, pada kenyataannya, hingga saat ini baru terdapat enam perusahaan besar yang tercatat melakukan kemitraan dengan para petani.
Ketua Umum Asosiasi Petani Tembakau Indonesia Suseno menilai program kemitraan di sektor tembakau saat ini memang masih sulit dilakukan.
Skema kemitraan, lanjut Suseno, hanya mampu dilakukan perusahaan-perusahaan rokok besar di Tanah Air karena mereka mampu melakukan pendampingan, mulai dari menyediakan bibit, pupuk dan asistensi teknik kepada para petani.
"Itu bisa dilakukan perusahaan besar karena mereka mampu dan tidak mau hasil tembakau mereka jelek. Tetapi bagi perusahaan menengah dan kecil itu sangat berat," ujar Suseno.
Terlebih lagi tidak ada payung hukum yang mengatur, sehingga tidak mengikat dan tidak bersifat wajib dilakukan.
Ia pun meminta pemerintah untuk lebih serius dalam menangani persoalan tembakau. Itu demi menjaga kesejahteraan sekitar 2 juta petani yang menggantungkan hidup dari komoditas tersebut.
Dengan adanya payung hukum, Suseno mengatakan rantai pasok perdagangan tembakau akan dapat dipangkas. Saat ini, sebagian besar tembakau harus melalui perjalanan panjang yakni dari petani, pengepul, pedagang kecil, pedagang besar baru sampai ke pabrik.
Sedangkan, dengan skema kemitraan, hasil petani bisa langsung dijemput oleh perusahaan.
"Tata niaga tembakau itu masih panjang. Banyak middleman. Saya pernah mendapat pengakuan, kalau pabrik menengah itu terkadang membeli tembakau dengan harga Rp100 ribu per kilogram (kg), padahal di petani hanya Rp30 ribu," jelasnya.
Hal tersebut dapat terjadi karena terdapat pedagang-pedagang nakal yang mempermainkan harga di pasar.
Ketika petani sudah sepakat bermitra dengan salah satu perusahaan dan menetapkan harga pembeliaan di angka Rp35 ribu per kg, akan datang pedagang yang menawarkan harga pembelian lebih tinggi dan menyerap semua tembakau petani.
"Itu mereka simpan dan ketika pasar mau tutup, mitra tidak mendapat tembakau, baru saat itu mereka lepas ke pasar dengan harga tidak normal," terangnya.
Dengan luas lahan 206 ribu ha, pada 2017, produksi tembakau dalam negeri mencapai 198 ribu ton. Dengan 40% di antaranya berkualitas bagus dan diserap oleh perusahaan-perusahaan besar. Adapun, sisanya diserap oleh pabrik menengah dan kecil.
Walaupun lebih besar dari tahun sebelumnya yang hanya sebesar 196 ribu ton, jumlah tersebut masih belum mampu memenuhi kebutuhan Tanah Air yang mencapai sekitar 300 ribu ton per tahun. (OL-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved