Headline

Banyak pihak menyoroti dana program MBG yang masuk alokasi anggaran pendidikan 2026.

Menggugat Validitas Data Pertanian

M Fauzi
25/3/2018 22:55
 Menggugat Validitas Data Pertanian
(ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi)

BERBICARA tentang kedaulatan pangan, bagaikan jauh api dari panggang. Terlebih bila masalah data yang berkuatan dengan pertanian kita belum valid. 

Dengan data yang belum valid, akan sulit lahir kebijakan yang tepat untuk memajukan pertanian kita. 

Demikian dikatakan Surame Hadi Sutikno, petani yang menjadi Dewan Penasehat Paguyuban Petani Merbabu, dalam diskusi bertema Petani Goes To Jakarta, Petani Jaman #NOW  di kantor e-Komando, Tebet, Minggu (25/3).

"Bagaimana bisa merancang kebijakan yang tepat untuk memajukan, dan mensejahterakan petani bila datanya saja tidak valid. Dengan data yang tidak valid, akan tidak tepat menentukan kapan harus impor dan ekspor. Wong kondisinya surplus kok impor. Juga bagaimana pula dengan peta cuaca, peta kemampuan air dan peta kemampuan tanah. Ini masih tidak ada. Kondisi belum adanya data yang valid ini sangat disayangkan para petani," kata Surame.

Menurut dia, permintaan tentang data-data tersebut sudah sering diminta para petani. Namun selalu tidak diberi. Maka muncul dugaan bahwa data yang valid tersebut tidak ada. Maka diminta kapan pun pasti tidak bisa diberikan ke petani. 

Ia pun berharap pemerintah bisa merancang kebijakan yang tepat untuk memajukan dan mensejahterakan petani. Hal ini sangatlah penting, karena bila petani tak juga sejahtera, maka akan mempersulit regenerasi petani, akibat anak petani tidak ingin hidup susah seperti sang ayah. 

"Saat ini faktanya regenerasi petani itu sulit. Ya karena petani banyak yang belum sejahtera. Dan disisi lain dengan bertani tidak bisa dapat duit instan. Bekerja dulu, menanam dulu, baru setelah panen bisa dapat uang. Kalau pas penen harga jatuh, ya petani malah merugi. Anak muda banyak yang ingin cepat dapat uang maka tidak tertarik berprofesi menjadi petani," tambahnya lagi.

Dalam acara yang sama, Ketua Kelompok Tani Traggulasi Kabupaten Semarang Pitoyo mengatakan, problem lain para petani adalah rendahnya harga jual hasil panen ke pengepul, namun harga jual di tingkat konsumen tinggi. Kondisi ini jelas merugikan petani sebagai produsen dan masyarakat sebagai konsumen.

"Jadi dengan masyarakat membeli produk pertanian dengan harga tinggi pun, bahkan kadang terasa memberatkan, itu juga tidak membuat petaninya lalu sejahtera. Yang paling menikmati ya pedagang perantara. Adanya kesenjangan harga di tingkat petani dan harga di konsumen ini juga harus dicari solusinya oleh pemerintah. Agar petani dan konsumen tidak terus menerus rugi," ungkap Pitoyo.

Di sisi lain Pitoyo juga menyoroti biaya logistik yang masih mahal, dan berbagai permainan lainnya, yang itu semua membuat harga komoditi pertanian kita menjadi tidak kompetitif. 

Sedangkan praktisi pemasaran produk pertanian Kokok Dirgantoro menambahkan, di jaman now ini para petani juga harus mulai memasuki pemasaran digital yang dinamis. Dengan berhimpun dalam kelompok tani untuk memperkuat posisi tawar, lalu berkolaborasi dengan mereka yang kompeten di bidangnya. 

"Setelah berhimpun untuk meningkatkan posisi tawar, juga harus berkolaborasi dengan pakar pemasaran digital, dengan medsos, agar bisa dikomunikasikan potensinya. Agar masyarakat mengenal keunggulan produksi petani kita. Jadi bisa membangun jejaring pemasaran yang bisa meningkatkan income para petani. Jangan terkotak-kotak," tukas CEO Opal Communication ini. (OL-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Eko Suprihatno
Berita Lainnya