Headline

DPR klaim proses penjaringan calon tunggal hakim MK usulan dewan dilakukan transparan.

Rupiah Tertekan, Suku Bunga Acuan Harus Dikoreksi

Tesa Oktiana Surbakti
12/3/2018 20:54
Rupiah Tertekan, Suku Bunga Acuan Harus Dikoreksi
(ANTARA)

KONDISI nilai tukar rupiah yang semakin tertekan terhadap dolar Amerika Serikat (AS), menjadi sinyal untuk mengoreksi suku bunga acuan Bank Indonesia (BI 7-Day Reserve Repo Rate/DRRR).

Koreksi BI 7-DRRR lebih ke arah kenaikan, mengingat ruang penurunan sudah tipis.

Ekonom Universitas Gajah Mada (UGM) Tony Prasentiantono berpendapat, Indonesia tetap harus intropeksi walaupun kontribusi terbesar dari pelemahan rupiah berasal dari kebijakan The Federal Reserve (The Fed).

Bank Sentral AS yang kini dipimpin Jerome Powell sudah mengindikasikan kenaikan suku bunga acuan (Fed Fund Rate/FFR) lebih dari tiga kali sepanjang 2018. Namun, lanjut Tony, pelemahan rupiah turut dipengaruhi gelombang masyarakat yang membeli dolar AS.

"Indonesia harus mawas diri, intropeksi kenapa orang lebih cepat kabur ke dolar AS. Menurut saya karena ada banyak faktor, paling krusial soal suku bunga. Jadi suku bunga (BI 7-DRRR) memang berhasil diturunkan dalam waktu cukup cepat di level 4,25%. Itu sudah mentok tak mungkin diturunkan terus. Selain itu akan membuat orang kaya atau pemilik rupiah mengalihkan kekayaannnya pada dolar," jelas Tony di sela-sela Forum Group Discussion (FGD) yang diadakan Media Group, Senin (12/3).

Bank Sentral sebaiknya mulai mengoreksi tingkat suku bunga acuan dengan menaikkan secara perlahan. Setidaknya ke level 4,5%. Depresiasi rupiah yang relatif besar, sambung Tony, turut dipengaruhi utang luar negeri pemerintah yang sudah jatuh tempo sehingga harus dibayar.

Alhasil selain untuk menstabilkan kurs rupiah, cadangan devisa pun digunakan untuk membayar utang luar negeri pemerintah. Cadangan devisa Indonesia pada Februari 2018 tercatat US$128,06 miliar atau lebih rendah dibandingkan posisi per Januari 2018 sebesar US$131,98 miliar.

"Salah satu penyebab kenapa rupiah depresiasinya relatif besar juga pada saat yang sama kita bayar utang (luar negeri pemerintah). Memang secara umum kita masih kuat, tapi terkadang pembayaran utang pas jatuh tempo berbarengan itu yang jadi masalah. Sebaiknya Bank Indonesia memonitor kapan jatuh tempo agar ada yang bisa diatur untuk mengurangi gejolak," tukas Tony. (OL-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Eko Suprihatno
Berita Lainnya