Headline

Banyak pihak menyoroti dana program MBG yang masuk alokasi anggaran pendidikan 2026.

Industri Mesti Beradaptasi di Era Disrupsi

Fetry Wuryasti Fetry@mediaindonesia
06/2/2018 02:31
Industri Mesti Beradaptasi di Era Disrupsi
(MI/MOHAMAD IRFAN)

DISRUPSI digital kini melanda ke hampir semua sektor usaha dengan segenap implikasinya. Fenomena luar biasa ini tidak memberikan banyak pilihan kepada pelaku usaha, kecuali segera beradaptasi jika tidak ingin tersaingi perkembangan digital yang bergerak cepat.
Pengamat ekonomi Muhamad Chatib Basri berpendapat, pasar tidak selamanya efisien karena informasi yang tersedia tidak merata. Jika informasi tidak merata, kata dia, akan ada risiko transaksi atau mekanisme pasar tidak terjadi. “Kekhawatiran ini terjawab oleh teknologi digital,” tegasnya dalam seminar Disrupsi Digital: Peluang dan Tantangan di Jakarta, Senin (5/2).

Teknologi digital, menurut Chatib, mampu memberikan informasi tanpa menaikkan harga transaksi karena salah satu penyebab tingginya biaya transaksi ialah hambatan dalam komunikasi. “Persoalannya, teknologi digital datang bukan hanya dengan manfaat. Ada juga potensi persoalan seperti waktu untuk beradaptasi, penurunan lapangan kerja, dan perlunya keterampilan baru,” ujarnya. Chatib mengatakan sebenarnya ruang bagi pekerjaan konvensional tetap ada, namun perlu redefinisi dari jenis pekerjaan dan keahlian yang perlu ditambahkan. Sebab, menurut Chatib, di masa depan karena pengaruh big data membuat semua layanan menjadi personilized. Dengan demikian, dari kemungkinan 5,1 juta orang yang akan kehilangan pekerjaan, sebagian dari mereka akan kembali bekerja dengan keahlian yang sudah dilatih. Dia mencontohkan profesi perawat yang tetap dibutuhkan, namun harus disertai keahlian meng-operasikan mesin yang meng-olah data.

Pemanfaatan teknologi digital juga mesti lakukan pihak perbankan. Namun, untuk bertransformasi yang sifatnya drastis dan memberikan dampak signifikan prosesnya juga tidak mudah dan tidak murah. Direktur Bank Tabungan dan Pensiun Nasional (Tbk) atau BTPN, Kharim Siregar mengatakan di sektor perbankan, digitalisasi bisa menekan biaya untuk melayani nasabah sampai 75% untuk pembukaan rekening dan menekan biaya hingga 90% untuk pembayaran, dibandingkan dengan konvensional. “Efisiensinya sangat baik karena cost to serve akan turun 80-90% lewat platform digital. Tentu revenue perbankan juga akan turun, begitu pula profit. Efisiensi dari memberikan layanan yang sama, mengakibatkan revenue pool hilang,” ujarnya.

Oleh karena itu, kata Kharim, industri harus menyesuaikan diri terhadap disrupsi dengan berkolaborasi bersama tekfin yang memang sangat baik dalam analitik dana dan fokus pada pengalaman pemakai atau users. Menurut dia, yang terpenting bukan seberapa canggih teknologinya, melainkan informasi yang bisa sampai ke pelanggan dan menciptakan user experience. “Keunggulan fintech (tekfin) ada pada data, fokus, biaya, dan integrasi yang menyeluruh. Kolaborasi bank, perusahan telekomonikasi dan fintech bergabung, akan menjadi sarana yang powerful,” ujarnya.

Menurut Chatib, keunggul-an perusahaan tekfin yakni mampu membuat coding yang menghubungkan algoritma dengan sosial media serta merekam berbagai jejak data, baik keuangan, kesehatan, dan pendidikan. “Sehingga profile (konsumen) akan terbentuk, tidak lagi hanya berdasarkan demografi, tapi juga hingga sosiopsikografi seseorang,” ujarnya. Rekam data ini, kata Chatib, suatu hari nanti bisa digunakan perbankan untuk menentukan tingkat bunga yang berbeda untuk tiap orang. Atau bisa digunakan pula bagi pihak asuransi berdasarkan pola frekuensi transportasi yang dipakai seseorang tiap hari. (E-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Dedy P
Berita Lainnya