Biaya Top Up Sebaiknya Dikaji

FETRY WURYASTI [email protected]
18/9/2017 08:15
Biaya Top Up Sebaiknya Dikaji
(FOTO ANTARA/Andika Wahyu)

RENCANA penetapan tambahan biaya saat mengisi kartu prabayar uang elektronik menuai banyak keluhan, terutama dari konsumen. Namun, pihak bank beralasan hal itu untuk membiayai berbagai hal terkait dengan alat pembayaran tersebut.
Menurut mereka, ada ongkos mesti dikeluarkan yang tidak diketahui pengguna kartu pembayaran multipayment tersebut, termasuk untuk mencetak kartu, starter kit, dan distribusi kartu prabayar atau uang elektronik. “Untuk mencetak Tap Cash, misalnya, dibutuhkan biaya minimal Rp22 ribu/kartu, sekali beli sampai kartu rusak,” ungkap Wakil Direktur Utama PT Bank Negara Indonesia (BNI) Herry Sidharta, Minggu (17/9).

Selain kartu, kata dia, bank perlu menyediakan alat untuk melakukan transaksi dan isi ulang uang elektronik tersebut. Alat tersebut disediakan melalui skema beli atau sewa dan perlu dilakukan perawatan secara rutin. Untuk kemudahan masyarakat melakukan proses isi ulang uang elektronik, bank juga bekerja sama dengan berbagai mitra antara lain jaringan ritel. “Semua itu kan perlu biaya dan itu yang konsumen tidak tahu,” tegasnya. Ekonom SKHA Institute for Global Competitiveness Eric Sugandi mengatakan fee untuk biaya pembelian kartu yang ditetapkan pihak bank masih bisa dianggap wajar. Namun, kata dia, jika ada penambahan biaya untuk top up bakal membebani konsumen dan mestinya tidak perlu.

“Bank-bank itu kan berharap bisa dapat fee-based income dengan kenakan biaya pembelian kartu dan top up fee. Akan tetapi, kalau penetapan biaya ini sepihak oleh bank, konsumen yang terbebani.” Menurut Eric, pengenaan biaya top up bisa menjadi disinsentif bagi penggunaan e-money untuk pembayaran tol dan konsumen tidak punya pilihan lain karena tidak lagi bisa pakai tunai mulai Oktober. Sementara itu, pengguna uang elektronik prabayar tidak hanya pemakai jalan tol, tetapi juga penumpang bus Trans-Jakarta dan kereta commuter line Jakarta. Dengan demikian, idealnya ada pembahasan bersama antara perwakilan konsumen misalnya YLKI, atau bahkan DPR, bank-bank, dan operator jalan tol.

“Bukan soal realistis atau tidak, tapi alasannya masuk akal atau tidak. Makanya idealnya dibahas dulu antara perwakilan konsumen dan bank-bank yang akan menyediakan layanan ini,” ujarnya, Minggu (17/9)..

Siapkan regulasi
Gubernur BI Agus Martowardojo saat peresmian Kantor Perwakilan BI di Banten, Serang, pekan lalu mengatakan, jika Bank Sentral sebagai otoritas sistem pembayaran tidak memperbolehkan pengenaan biaya isi saldo uang elektronik, jumlah sarana pembelian dan pengisian saldo uang elektronik dikhawatirkan akan terbatas. Regulasi isi saldo tersebut bakal berupa peraturan anggota dewan gubernur (PADG).
Menurut Direktur BCA Santoso, pihaknya akan tunduk pada apa pun aturan yang ditetapkan BI dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). “Kami bekerja untuk mendukung sistem pembayaran di Indonesia demi Indonesia lebih baik,” tegasnya.
Sebelumnya, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menilai langkah BI itu malah akan menghambat upaya Gerakan Nasional Nontunai. Menurutnya, sangat tidak adil dan tidak pantas jika konsumen justru dibebani disinsentif berupa biaya top up. (E-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Dedy P
Berita Lainnya