Perang Dagang

(Adiyanto/E-1)
31/7/2017 01:45
Perang Dagang
(Antara)

AKHIR pekan kemarin saya menerima kiriman paket berupa kacamata untuk anak saya. Dia memesannya secara online. Saya kaget jangan-jangan putri saya yang baru kelas X SMA itu mulai keranjingan berbelanja di toko virtual.
Menurut istri saya, sudah beberapa kali dia memang memesan barang, mulai jam tangan hingga buku. Dana untuk itu dari uang jajannya yang disisihkan selama ini. Saya lalu jadi teringat pendapat Guru Besar Universitas Indonesia Renald Khasali.
Kata Renald, sekarang uang sedang berpindah (shifting) dari kalangan menengah atas ke ekonomi rakyat lewat toko-toko virtual dan perusahaan jasa pengiriman.

Dia juga meragukan menurunnya daya beli masyarakat. Yang ada, kata dia, hanya perpindahan (shifting) itu tadi. Renald bisa jadi benar atau bisa pula salah. Saya sendiri tak pernah meriset tentang penurunan daya beli ini. Namun, dari seorang sopir ojek online yang alih profesi dari seorang penjaga toko di Glodok, saya ketahui bahwa pusat perkulakan barang elektronik itu kini sepi pembeli. "Ya, gimana enggak sepi, Pak, kebanyakan orang beli lewat online," ujarnya saat saya menumpang motornya menuju kantor, beberapa waktu lalu. Dari cerita si abang ojek tadi dan kebiasaan belanja online putri saya, apa yang diutarakan Renald sepertinya berkolerasi.

Tak mengherankan jika para taipan terkaya di dunia versi Bloomberg Billionaires Index yang dirilis Kamis (28/7) lalu didominasi mereka yang bergerak di bidang teknologi. Mulai dari Jeff Bezos, pemilik situs belanja Amazon.com serta Mark Zuckerberg, sang pendiri Facebook. Seperti kita tahu, dua orang itu memanfaatkan perubahan pola konsumsi masyarakat yang kini memanfaatkan teknologi dalam berbelanja. Namun, ibarat mata uang, teknologi selalu punya dua sisi. Contohnya para pemilik gerai di Glodok yang mulai ditinggal pembeli.

Begitu juga pengusaha taksi konvensional yang kini megap-megap kehilangan pelanggan. Di sinilah negara mesti hadir lewat sejumlah regulasi yang adil agar tata niaga ini tak merugikan salah satu pihak, termasuk produsen ataupun konsumen. Ingat, ini era perang dagang. Lawan yang kita hadapi bukan sesama anak bangsa. Ini pertarungan global.

Tiap negara tentunya punya strategi memenangi persaingan sekaligus menyejahterakan warganya. Oleh karena itu, pemerintah perlu merangkul semua pihak, mulai dari pengusaha, pedagang, mahasiswa, buruh, ulama, nelayan, hingga petani, untuk membicarakan strategi memenangi perang semesta ini. Jangan seolah-olah ini hanya dilihat sebagai ambisi seorang Sri Mulyani atau Presiden Jokowi.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Dedy P
Berita Lainnya