Headline
Senjata ketiga pemerataan kesejahteraan diluncurkan.
Tarif impor 19% membuat harga barang Indonesia jadi lebih mahal di AS.
HINGGA 2019, Indonesia diramaikan dengan aktivitas dan fenomena politik mulai pilkada hingga puncaknya pemilu presiden. Tak jarang kondisi ini menimbulkan pergesekan dan eskalasi suhu politik di masyarakat.
Kondisi politik sering kali dijadikan pertimbangan masyarakat sebelum berinvestasi, termasuk dalam membeli properti. Padahal, sebenarnya iklim politik tidak dapat dijadikan alasan untuk menunda pembelian properti.
Sebagaimana disampaikan Direktur Marketing Kingland Avenue Bambang Sumargono dalam diskusi di Jakarta, Selasa (23/5). Menurutnya, politik bersifat sangat dinamis dan fluktuatif sehingga hanya memberikan pengaruh jangka pendek terhadap bisnis properti.
"Properti bukan investasi jangka pendek seperti saham. Jadi tidak perlu khawatir dengan situasi politik. Tidak pernah terjadi nilai properti turun karena kondisi politik. Jadi jangan ragu untuk berinvestasi properti hanya karena kondisi politik," ujarnya.
Apalagi saat ini pemerintah sudah menunjukkan sikap tegas bagi siapa pun yang mencoba mengganggu stabilitas politik dan keamanan di dalam negeri sehingga diharapkan kondisi keamanan akan tetap kondusif.
Selain itu, kondisi politik tidak terlalu berdampak signifikan terhadap kondisi ekonomi domestik. Meskipun politik menghangat, indikator ekonomi tetap baik terlihat dari indeks harga saham gabungan pada April mencapai 5.820. Aliran modal asing di pasar saham sebanyak US$2,1 miliar dan pasar obligasi kita US$5,7 miliar.
Pemerintah juga mendapatkan predikat wajar tanpa pengecualian untuk Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Tahun 2016 serta beberapa indikator positif lain. Kondisi itu membuat banyak pihak memprediksi pertumbuhan ekonomi akan melejit.
Tampak pula pertumbuhan penyaluran kredit properti per Maret 2017 sebesar Rp719 triliun atau tumbuh 15,2%. Pertumbuhan KPR terbesar berada pada perumahan tipe 22 m2-70 m2.
Daya beli masyarakat juga masih baik dengan peningkatan indeks keyakinan konsumen dari 105% di Januari menjadi 121,5% pada April.
Indeks ini masih lebih besar dari Eropa sebesar 53% yang berarti daya beli masyarakat Indonesia tergolong baik. "Akan tetapi, pembeli Indonesia panikan dan menunggu momentum sehingga membuat pasar properti saat ini masih belum tumbuh."
Harga tinggi
Di kesempatan yang sama, Head of Research & Consultancy Research & Consultancy PT Savills Consultants Indonesia Anton Sitorus mengatakan kondisi pasar properti Indonesia masih lamban, tapi bukan masalah besar.
Sebelum perlambatan terjadi, pertumbuhan sektor properti sangat fenomenal dengan pertumbuhan rata-rata 30% per tahun selama 10 tahun.
Pertumbuhan fenomenal tersebut menjadikan pasar properti stagnan saat ini sebagai efek dari tingginya kenaikan harga properti pada tahun-tahun sebelumnya.
"Ada dua pasar pada properti, yaitu untuk investor dan end user. Proyek-proyek di Jabodetabek rata-rata untuk investor, padahal saat ini investor masih tiarap," urainya.
Investor belum menggeliat di pasar properti karena susah mencari kenaikan harga dari sektor properti. Investor yang sudah memiliki beberapa portofolio investasi properti saat ini terkena dampak dan menjual beberapa aset.
Harga di secondary market di beberapa daerah juga sudah turun. Setidaknya pasar properti masih membutuhkan waktu 1-2 tahun lagi untuk bangkit.
Tingginya harga properti memang tidak terlepas dari mahalnya harga tanah sehingga pengembang tidak bisa menjual dengan harga murah.
Anton memberikan saran agar pengembang saat ini tidak mencari keuntungan terlalu besar. Minimum <>investment return yang wajar bagi pengembang sekitar 20%-30%.(S-4)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved