Headline

Mantan finalis Idola Cilik dan kreator konten juga memilih menikah di KUA.

Fokus

Ketegangan antara Thailand dan Kamboja meningkat drastis sejak insiden perbatasan

Tantangan belum Berakhir

Muhamad Chatib Basri Senior Fellow of Harvard Kennedy School
31/12/2015 00:00
Tantangan belum Berakhir
(MI/ROMMY PUJIANTO)
'EKONOM masuk perangkap ketika ia mulai meramal angka masa depan. Ekonom yang baik sadar, mereka tak mampu meramal angka masa datang. Seperti dokter gigi, dokter gigi tak pernah membuat ramalan berapa jumlah gigi kita di usia 80 tahun. Yang dilakukan dokter gigi ialah memberikan saran bagaimana gigi kita tetap baik atau mengobati sakit gigi'. Kalimat itu ditulis Tim Harford, jurnalis dan ekonom dari Inggris. Harford benar. Saya sadar risiko ini. Karena itu, ketika saya bicara mengenai prospek ekonomi 2016, saya memilih untuk menjelaskan faktor-faktor yang berpengaruh ketimbang berdebat tentang angka ramalan.

Bagaimana situasi 2016? Saya melihat setidaknya ada tiga faktor yang harus diperhatikan dan akan memengaruhi pertumbuhan ekonomi 2016. Pertama, normalisasi kebijakan moneter di Amerika Serikat (AS). Desember 2015, Janet Yellen menaikkan bunga Fed 25 basis poin (bps). Pasar mengantisipasinya  dengan tenang. Rupiah mulai menunjukkan kestabilannya. Faktor The Fed Bagaimana kita bisa menjelaskan ini? Saya ingat ketika Carmen Reinhart, guru besar ekonomi di Harvard Kennedy School, menanyakan bagaimana Indonesia mampu keluar dari Fragile Five (lima negara yang dianggap berisiko ketika kebijakan quantitative easing atau QE di AS berakhir) pada awal 2014.

Saya katakan, bahwa selain kebijakan yang baik, unsur yang penting ialah mendidik ekspektasi pasar. Pasar dididik untuk paham bahwa kebijakan QE akan berakhir. Memang awalnya terjadi gejolak, yang dikenal dengan istilah taper tantrum. Namun, ketika QE benar-benar berakhir, dan antisipasi kebijakan dibuat, pasar tampak tenang dan stabilitas ekonomi mulai terjadi. Saya ingat, pada Februari 2014, majalah The Economist dan harian The Financial Times menyatakan Indonesia tak lagi dikategorikan Fragile Five. Di sinilah pentingnya komunikasi.

Jika kita jujur dalam berkomunikasi, pasar akan mampu membuat penyesuaian. Mereka dipersiapkan untuk menghadapi situasi terburuk. Yang paling tidak disukai pasar ialah ketidakpastian. Sebenarnya Carmen Reinhart pernah membuat studi penting bagi negara Amerika Latin tentang ini, tapi ia tak menyadari bahwa temuannya ternyata berlaku juga dalam kasus Indonesia. Ia membandingkan expected versus unexepected crisis. Dalam kasus penaikan bunga The Fed, saya ingat isu ini pertama kali saya sampaikan pada April 2014, setelah pertemuan G-20 di Australia.

Sejak itu ekspektasi pasar terus dibangun bahwa The Fed satu waktu akan menaikkan bunga. Tujuannya ialah pasar dipersiapkan bahwa akan ada guncangan ke depan sehingga bisa diantisipasi. Karena sudah diantisipasi, risiko normalisasi kebijakan moneter di AS pun mungkin sudah relatif kecil. Namun, yang harus diantisipasi ialah jika The Fed terus menaikkan bunga. Dalam komunikenya, The Fed menyebut kemungkinan tingkat bunga akan menjadi 1,5% pada akhir 2016. Jika itu terjadi, Bank Indonesia harus memastikan bunga riil di Indonesia masih cukup menarik. Jika tidak, modal akan mengalir keluar dan akan terjadi tekanan dalam nilai tukar rupiah, pasar modal, serta obligasi. Jika inflasi tidak bisa dijaga atau diturunkan lebih jauh, ruang bagi Bank Indonesia untuk menurunkan bunga akan terbatas. Artinya, dampak penurunan bunga terhadap peningkatan investasi akan terbatas.

Perlambatan ekonomi Tiongkok
Faktor kedua, perlambatan ekonomi Tiongkok. Di sini unsur ketidakpastian tinggi. Inilah sumber gejolak di masa depan. Dunia mungkin tak sepenuhnya paham mengenai situasi riil di Tiongkok. Selain mitra dagang utama kita, Tiongkok juga konsumen terbesar untuk energi dan komoditas. Perlambatan ekonomi Tiongkok akan membuat harga komoditas dan energi menurun. Padahal, 60% dari ekspor kita ialah produk yang berhubungan dengan energi dan komoditas. Implikasinya ekspor masih akan tetap lemah pada 2016.

Selain itu, penerimaan pemerintah bisa terpukul karena penyumbang paling besar dari pajak kita ialah perusahaan yang bergerak dalam bidang ekspor sumber daya alam. Jika penerimaan pajak menurun, ruang untuk ekspansi fiskal pun terbatas. Implikasinya, baik peningkatan ekspor maupun stimulus fiskal, akan relatif terbatas pada 2016.

Harga minyak turun
Faktor ketiga, penurunan harga minyak. Menurunnya permintaan terhadap minyak dan semakin meningkatnya pasokan minyak akan membuat harga minyak semakin rendah. Akibatnya, permintaan terhadap energi alternatif akan menurun. Bisa dibayangkan, prospek batu bara dan kelapa sawit tak akan terlalu cerah ke depan. Implikasinya ekspor kita dan fiskal kita akan terganggu. Dengan gambaran tersebut, sumber pertumbuhan ekonomi kita akan bergantung kepada konsumsi rumah tangga karena peningkatan investasi, ekspor, dan fiskal akan relatif terbatas. Namun, bila daya beli bisa dijaga, konsumsi rumah tangga dapat didorong. Tanpa itu kita akan mandek. Itu sebabnya saya melihat: pada 2016, situasi ekonomi mungkin akan sedikit lebih baik jika dibandingkan dengan 2015, tapi tak akan terlalu signifikan. Lebih baik realistis ketimbang memberikan harapan yang akhirnya mengecewakan.(X-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Admin
Berita Lainnya